Orang Muslim melihat dalam dirinya nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang tidak bisa dikalkulasikan sejak ia masih berupa sperma di perut ibunya hingga ia menghadap Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat tersebut dengan lisannya dengan memuji-Nya dan menyanjung-Nya, karena Dia berhak... mendapatkan sanjungan dan ia bersyukur dengan anggota badannya dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya. Ini etikanya terhadap Allah Ta‘ala, sebab tidak etis mengingkari nikmat, menentang keutamaan Pemberi nikmat, memungkiri Nya, memungkiri kebaikan-Nya, dan memungkiri nikmat-nikmat-Nya.
Allah SWT berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah.” (An Nahl: 53).
“Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18).
“Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152).
Orang Muslim mengakui pengetahuan Allah Ta’ala kepadanya, dan penglihatan-Nya terhadap seluruh kondisinya, kemudian hatinya penuh dengan ketakutan kepada-Nya, dan ia mengagungkan-Nya. Ia malu bermaksiat kepada-Nya, menentang-Nya, dan tidak taat kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Allah Ta’ala. Sebab, sangat tidak etis seorang hamba mempertontonkan kemaksiatannya kepada Tuhannya, atau mempersembahkan keburukan kepada-Nya, padahal Dia melihatnya dan menyaksikannya.
“Mengapa kalian tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakn kalian dalam beberapa tingkatan kejadian.” (Nuh: 13-14).
“Dan Allah mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian lahirkan.” (An-Nahl: 19).
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi kalian di waktu kalian melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.” (Yunus : 61)
Orang Muslim berpendapat bahwa Allah Mahakuasa atas dirinya dan memegang ubun-ubunnya. Ia tidak mempunyai tempat melarikan diri, atau tempat menyelamatkan diri, kecuali kepada-Nya. Kemudian ia lari menghadap kepada-Nya, menjatuhkan diri di depan-Nya, menyerahkan seluruh persoalannya kepada-Nya dan bertawakal kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Tuhan dan Penciptanya. Sebab, tidak etis lari kepada pihak yang tidak bisa memberikan perlindungan, bergantung kepada pihak yang tidak mempunyai kekuasaan, dan menyerahkan diri kepada pihak yang tidak mempunyai daya dan upaya.
“Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-alah yang memegang ubun-ubunnya.” (Huud: 56).
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah, sesungguhnya aku pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian.” (Adz-Dzariyat: 50)
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23).
Orang Muslim melihat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala dalam semua urusan-Nya, rahmat-Nya kepadanya, kepada semua makhluk-Nya, kemudian ia ingin mendapatkan tambahan rahmat-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketundukan dan doa yang ikhlas, bertawwasul kepada-Nya dengan perkataan yang baik dan amal perbuatan yang shahih. Inilah etikanya terhadap Allah Ta’ala, sebab, tidak etis merasa putus asa dari mendapatkan tambahan rahmat yang meliputi segala hak, putus asa dari kebaikan yang mencakup semua makhluk, dan putus asa dari kebaikan Yang Mengatur alam raya.
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Al-Araaf: 156).
“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya.” (Asy-Syuura: 19)
“Dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87).
“Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Az-Zumar: 53).
Orang Muslim melihat kedahsyatan kekuatan Tuhannya, kekuatan pembalasan-Nya, dan kecepatan penghisaban-Nya, kemudian ia bertakwa dengan taat dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Ini etikanya terhadap Allah Ta‘ala, sebab, tidak etis bagi orang-orang berakal, kalau hamba yang lemah dan tidak berdaya melakukan kemaksiatan kepada Tuhannya Yang Maha Perkasa, Mahakuasa, Mahakuat, dan Maha Menang.
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selama Dia.” (Ar-Ra’d: 11).
“Sesungguhnya adzab Tuhanmu benar-benar keras.” (Al-Buruj: 12).
“Dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan.” (Ali Imran: 4).
Orang Muslim melihat kepada Allah Ta‘ala ketika ia bermaksiat dan tidak taat kepada-Nya. Ia merasa seolah-olah ancaman Allah Ta’ala telah mengenai dirinya, siksanya telah terjadi padanya, dan hukumannya telah turun padanya. Ia juga melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia taat dan mengikuti syariat-Nya. Ia merasa seolah-olah Dia telah memberikan janji-Nya kepadanya, dan pakaian keridhaan telah dikenakan padanya. Kemudian ia berbaik sangka kepada-Nya, sebab, tidak etis seseorang berlaku buruk terhadap Allah Ta‘ala, kemudian ia bermaksiat dan tidak taat kepada-Nya, serta berpendapat bahwa Allah Ta‘ala tidak melihat dirinya, dan tidak menghukumnya atas pelanggarannya.
“Namun kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Tuhan kalian, prasangka itu membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi.” (Fushshilat: 22-23).
Juga tidak etis terhadap Allah Ta‘ala, kalau seseorang bertakwa kepada-Nya dan taat kepada-Nya, kemudian ia berprasangka bahwa Dia tidak mengganjarnya karena amal perbuatannya yang baik, tidak menerima ketaatan dan ibadahnya.
“Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An-Nuur: 52).
“Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al-An’am: 160)
Kesimpulannya, bahwa kesyukuran orang Muslim kepada Allah Ta‘ala atas nikmat-nikmat-Nya, rasa malunya kepada-Nya jika ia cenderung bermaksiat kepada-Nya, bertaubat dengan benar, bertawakkal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya, berbaik sangka bahwa Allah Ta’ala pasti menetapi janji-Nya, dan berbaik sangka bahwa Allah Ta‘ala pasti melaksanakan ancaman-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan hamba-hamba-Nya adalah etika terhadap Allah Ta’ala. Semakin ia konsisten dengan etika tersebut dan menjaganya, derajatnya semakin tinggi, kedudukannya melangit, dan kemuliaannya agung hingga kemudian ia berhak mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala, pemeliharaan-Nya, kucuran rahmat-Nya, dan sasaran nikmat-Nya.
Inilah puncak keinginan orang Muslim dan yang diidam-idamkan sepanjang hidupnya. Ya Allah, berilah kami perlindungan-Mu. Jangan haramkan kami atas pemeliharaan-Mu. Jadikan kami orang-orang bertakwa di sisi-Mu, ya Allah, wahai Tuhan alam semesta.
Etika Kepada Alloh SWT
Reviewed by Unknown
Published :
Rating : 4.5
Published :
Rating : 4.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar