Diberdayakan oleh Blogger.

LDII dalam kajian ulama


Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
 KH Alie Yafie Saya ingin menyampaikan bahwa memang menarik mengkaji perkembangan Islam di Indonesia. Bagian dari perkembangan tersebut, kita harus lihat LDII di situ. Jadi kita tidak boleh (menuding) sembarang, tanpa data dan fakta dari hasil penelitian. Karena saya tidak punya data yang cukup, saya tidak ingin memberikan vonis kepada LDII. Jadi saya anjurkan untuk melakukan penelitian yang mendalam, secara kekerabatan, tidak seperti polisi atau jaksa yang sedang menyelidik.
Intinya secara ukuwah Islamiyah. Jadi tahu bagaimana sejarahnya, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan lain sebagainya. Jadi, sebagai ilmuwan, kita tidak boleh ngomong seperti orang awam. Itu harapan saya.
Dalam budaya tarekat, sebenarnya ada tradisi silsilah, yang dalam istilah yang melekat di LDII adalah manqul. Penggunaannya dalam konteks fiqih sebenarnya tidak ada masalah. <50%>
Web blog ini mengandung setengah (50%) dari Catatan Para Ulama. Untuk memperoleh Catatan Para Ulama versi lengkap dalam bentuk buku, silahkan kunjungi situs www.madaniinstitute.org
Prof.Dr.KH. Said Agil Siradj
 Airan atau madzhab atau firaq islamiah itu, sepanjang masa akan tetap ada. Kajian mengenai al-Firaq al-Islamiah (firqah-firqah Islam) dan al-Firaq al-Kharijah `anil Islam (firqah-firqah yang keluar dari Islam) adalah salah satu mata kuliah wajib di Timur Tengah, baik itu di Ummul Qura Makkah maupun di Al-Azhar Kairo. Yang termasuk firqah Islam adalah Mu`tazilah, Khawarij, Jabariah, Qadariah, Murji’ah, Jahamiah; Syi`ah, Syi`ah Itsna `Asyariah, Imamiah, dan Zaidiah. Sedangkan firqah yang keluar dari Islam yaitu Syiah Ismailiah, Bahaiyah, Qadianiyah, dan lain-lain. Kelompok kedua ini dianggap keluar dari Islam karena mereka mengingkari prinsip-prinsip ma`ulima minaddin bidhdharuri (prinsip yang sangat fundamental dalam Islam).
Orang atau kelompok yang mengingkari ma’ulima minaddin bidhdharurah54 bisa dikategorikan sesat. Sedangkan kelompok atau orang yang mengingkari ma`ulima minaddin bitta`allum (hasil pemikiran/telaah/ijtihad) tidaklah sesat. Sampai-sampai, golongan Khawarij pun masih dianggap sebagai bagian dari kelompok Islam (firaq islamiah), padahal mereka telah membunuh Sayidina Ali Karramallahu Wajhah.
Di dalam Islam terdapat beragam aliran dan golongan. Sebagian besar golongan tersebut tidak bisa dianggap sesat, karena ada dua perbedaan, yaitu perbedaan yang bersifat wacana dan perbedaan yang bersifat aksi/amal. Lha, LDII ini perbedaannya amal. Mereka tidak kita anggap sesat, tetapi mutanaththi`, tanaththu`, orang yang eksklusif, kelompok eksklusif. Namun demikian, LDII masih dalam bagian firqah islamiah, karena meyakini apa yang disebut ma’ulima minaddin bidhdharurah, meski dalam beberapa hal LDII (menurut beberapa kalangan yang mengamati organisasi ini) berbeda dengan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat tertentu. Perbedaan penafsiran itu sendiri dalam banyak kesempatan dibantah oleh pengurus LDII. Seandainya dugaan para pengamat itu benar, perbedaan itu tidak menyebabkan LDII menyandang label ”sesat.” Itu tidak sesat, hanya salah atau sempit. Itu tanaththu`, mutanatti`, hatta Khawarij kita tidak mengatakan sesat. Padahal dia yang membunuh Sayidina Ali, kita tidak mengatakan sesat, tetapi mutasyaddid, mutatharrif.
Mutasyaddid (keras) dan mutatharrif (ekstrem atau keterlaluan) itu berbeda dengan menyimpang. Yang menyimpang adalah yang mengingkari ma`ulima minaddin bidhdharurah, yang bitta`allum tidak. Allah punya sifat berapa dan apa, itu bitta`allum. Di kalangan NU dan di kalangan Pesantren, ada juga kalangan yang eksklusif. Sampai-sampai, kaum perempuan sama sekali tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Ada sebagian orang membaca takbiratul ihram berkali-kali, karena was-was, seakan-akan harus hati-hati. Justru hal ini adalah bagian dari sifat keterlaluan dan berlebihan.
LDII tidak bisa disamakan dengan Ahmadiah. Ahmadiah itu sesat karena mengingkari ma`ulima minaddin bidhdharurah, mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Saya menanggapi perubahan paradigma LDII secara positif. Paradigma Baru LDII harus disikapi dengan positif. Mereka (LDII) mengakui kesalahan, dalam tanda petik: kesalahan ajarannya atau kesalahan doktrinnya, bukan kesalahan aqidah. Aqidah nggak salah, dari awal nggak salah. Aqidah dia rukun iman yang enam itu. Rukun Islamnya juga sama. Ya seperti pesantren dulu, dimana Bahasa Inggris itu haram. Sekarang, justru membolehkan. NU sendiri, pada Muktamar tahun 30-an itu mengharamkan pakai dasi atau pakai celana. (Sekarang, tidak).
Orang yang menganggap orang lain sesat itu, juga sesat. Man kaffara ahlal kitab (al-Qur’an) fahuwa kafir. Orang yang menganggap sesat orang lain, yang tidak menolak hal-hal prinsip maka ia sesat juga, kecuali yang prinsip tadi. Kita (NU), menghindari bahasa “sesat.” Pleno NU di Cisalak Bogor, menyatakan aliran Ahmadiah adalah aliran yang ditolak oleh mayoritas umat Islam, (tapi) tidak mengatakan sesat, karena sesat itu adalah caci-maki. Kata syatm itu kita hindari.
Dalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan dalam memahami agama, masyarakat itu tergantung dengan ulama (kyai). Kalau masyarakat NU ya apa kata kyai-nya. Kalau kyainya tambah maju, berkembang, terbuka, maka masyarakatnya akan mengikuti. Oleh karena itu, para ustadz dan dai tidak boleh berhenti belajar, agar wawasan menjadi luas dan siap menerima perbedaan. Asal mereka mau belajar, mereka akan menjadi toleran. Orang kalau mandeg, merasa dirinya pinter, maka ia akan berpandangan sempit. Kalau mau belajar terus, ia akan menjadi toleran, tasamuh. Bukan berarti menghalalkan yang haram, menerima yang sesat, tidak. Tetapi menyikapinya dengan kepala dingin, dengan argumentatif.
Sepanjang interaksinya dengan LDII, saya belum pernah menemui kasus-kasus yang dilontarkan beberapa kalangan, semisal mencuci masjid bekas tempat shalat jama’ah non-LDII. Saya pernah bertanya langsung tentang hal itu, “Apakah betul?,” mereka menjawab, “Ya, kalau masjidnya kotor, Kyai, bukan karena ada yang shalat selain dari LDII. Ya karena waktunya dicuci, karena sudah kotor.”
Mengenai kondisi masjid LDII, memang kebersihan masjid LDII luar biasa. Saya masuk di pusat LDII di Kediri, (mesjid dan pondoknya) bersih puntung rokok Memang di LDII merokok itu haram. Artinya nggak boleh merokok. Sampah nggak ada, bersih sekali. Nah, ketika saya melihat perpustakaannya, memang yang banyak itu kitab hadits. hadits segala macam itu ada. Lantas saya bertanya,“Mana kitab akhlaknya, harus ada. Karena ad-din itu al-khuluqul hasan, ad-din al-mu`amalah al-hasanah, Innama bu`itstsu-lah, harus ada akhlak-lah.” Mereka menjawab,“Apa nggak cukup kitab-kitab hadits, Kyai?” Saya jawab, “Kurang. Ya, hadist kan masih doktrin umum. Harus ada ilmu yang namanya ilmu akhlak.” “Apa?” tanya mereka lagi. Saya jawab, “Ya ilmu tasawuf itu.” Dia mulai saya berikan masukanlah. <50%>
Web blog ini mengandung setengah (50%) dari Catatan Para Ulama. Untuk memperoleh Catatan Para Ulama versi lengkap dalam bentuk buku, silahkan kunjungi situs www.madaniinstitute.org
Share on :
LDII dalam kajian ulama
LDII dalam kajian ulama
Reviewed by Unknown
Published :
Rating : 4.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar