Diberdayakan oleh Blogger.

“MENSYUKURI NIKMAT KECIL SEBELUM NIKMAT BESAR” (dari sudut pandang yang berbeda)

As-Salaamu ‘Alaikum, sedulur Nah, untuk menjelaskan bahwa saya adalah ahlul jama’ah tulen yang bisa dipertanggung-jawabkan, maka saya harapkan dengan hadirnya tulisan saya ini dapat kiranya menyejukkan kembali hati yang sedang resah-gelisah. Lebih dari itu saya berharap malah menjadi bahan pertimbangan untuk menjadi pemacu semangat memperbaiki atas kekurangan yang ada, dan juga untuk melengkapi sesuatu yang sebelumnya belum ada. Baiklah, untuk mendasari pembahasan ini, terlebih dahulu akan saya sampaikan firman Alloh Ta’alaa dalam Al-Qur’an, Surat Ali ‘Imron, No. Surat: 3, Ayat: 104, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf (yaitu segala perbuatan baik yang bisa mendekatkan kita kepada Alloh) dan mencegah dari yang munkar (yaitu segala perbuatan jelek yang bisa menjauhkan kita dari-Nya); Mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Firman Alloh di atas, mengandung sebuah harapan yang sangat kuat, bahwa Alloh menginginkan ada seseorang di antara kita yang bisa “Ammar Ma’ruf dan Nahi Munkar”, artinya mendakwahkan tentang kebaikan, menyuruh pada hal-hal yang baik terlebih dahulu sebelum mendakwahkan soal kebenaran. Berarti, sesuatu yang baik agar menjadi sesuatu yang benar itu perlu suatu keterampilan proses. Jika berbicara mengenai kebaikan, maka konotasinya adalah ibadah ghoiru mahdhoh, yakni ibadah sosial, hubungan horizontal sesama manusia yang bersifat norma susila, etika, moral. Orang yang berbuat kebaikan; moralnya baik, etikanya baik, prilakunya baik, perkataannya baik dalam bersosialisasi dengan masyarakat, ia mau bekerja bakti atau bergotong royong, mau berbagi pada sesama, maka ia akan lebih mudah diterima oleh masyarakat sekalipun ia tidak pernah sholat, zakat, puasa, dan haji. Untuk mewujudkan anggota masyarakat yang berbudi pekerti baik, berakhlaqul karimah seperti yang diinginkan oleh Alloh dalam firman-Nya di atas, maka tidak salah bila bahan pengajaran yang harus disampaikan kepada anggota masyarakat yang akan kita bimbing keagamaannya dimulai dari Kitabul Adab, yaitu tentang budi pekerti. Dengan demikian, dapat diharapkan terpenuhinya target Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam melahirkan umat yang memiliki akhlaq yang sempurna, yaitu akhlaqul karimah, akhlaqnya Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Itulah misi beliau diutus di permukaan bumi ini sebagai seorang rosul, yaitu untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Agar bumi ini ramai, aman dan nyaman dihuni oleh beragam dari makhluk ciptaan Alloh, sehingga benar apa yang dikatakan, bahwa agama Islam adalah agama rohmatal lil’aalamiin. Karena itu, maka Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam menempatkan derajat ibadah ghoiru mahdhoh, seperti budi pekerti yang baik “akhlaqul karimah”, memperindah pergaulan itu lebih utama ketimbang derajatnya ibadah mahdhoh seperti puasa, sholat dan shodaqoh. Sehingga pada hari kiamat kelak menjadi orang yang paling dicintai oleh Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, dan paling berat timbangan amalnya. Itu berarti, satu kali gayuh dua pulau terlampaui, artinya bahagia dunia dapet, bahagia akhirot juga dapet. Sebagaimana sabda beliau yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Jabir, dan Imam Abu Daud, yang berbunyi:
Yang artinya: “Pada hari kiamat kelak, orang yang paling saya cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku adalah orang yang bagus akhlaknya”. (HR. Tirmidzi).

Kira-kira, kita semua bisa ya meningkatkan budi pekerti yang sudah baik agar menjadi lebih baik lagi? Sehingga, budi pekerti yang kita miliki itu tidak hanya berdasarkan tata krama yang berlaku dalam adat istiadat kesukuan tetapi juga betul-betul mencerminkan bahwa akhlaqnya Rosululloh itu melekat pada diri kita yang tercermin dalam prilaku kehidupan sehari-hari. Dengan harapan akan semakin banyak lagi anggota masyarakat lainnya yang bergabung dengan majlis ta’lim kita ini, karena ingin meniru dan merasa bangga bertetangga, bergaul dengan saudara sekalian. Pada akhirnya, saudara menjadi orang yang sangat dirindukan, tidak hanya oleh istri dan anak-anak tetapi juga oleh sesama kaum Adam. Ini pun disebut juga dengan ammar ma’ruf, namanya “ammar ma’ruf bil hal”, yakni dengan tindakan nyata. Bahkan, manfa’atnya cepat dapat dirasakan. Untuk memiliki akhlaqul karimah, kita semua tidak harus menjadi seorang ustadz kondang, termasyhur, kesohor, kenamaan, apapun itu istilahnya. Tapi, cukup dengan merubah sifat buruk menjadi bersifat baik. Misal, bagi seorang istri yang tadinya jika sedang melayani suami dengan wajah cemberut, hati kusut, kini berubah mau melayani suami dengan wajah ceria dan senang hati. Tadinya, jika sedang berbicara dengan suami dengan nada tinggi dan cetus, kini berubah menjadi berbicara dengan suara yang lembut dan nada rendah serta memilih kata-kata yang sekiranya suami menjadi senang, sehingga suami tertarik dan ingin berbincang-bincang lebih lama lagi. Begitu juga, sebaliknya bagi seorang suami. Taukah saudara-saudara, bahwa akhlaq yang baik semacam itu dapat memberatkan timbangan amalan? Saudara mau kan…., pada hari kiamat nanti timbangan amal saudara-saudara menjadi berat pada bagian amalan yang baiknya? Pasti, mau doong! Mulai sekarang berjanji dalam hati, terserah mau janji seperti apa, yang penting baik! Hingga terwujud nyata, bahwa saudara-saudara menjadi hamba Alloh yang baik, menjadi individu yang baik, menjadi anggota keluarga yang baik, menjadi anggota masyarakat yang baik, menjadi warga negara yang baik. Dengan harapan, majlis kita ini meski bersifat sederhana tapi dapat menghasilkan ahlul jama’ah yang berkwalitas. Perhatikan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam berikut ini:
Yang artinya: “Tidak ada sesuatu yang (bisa menambah) lebih berat timbangan amal (pada hari kiamat) daripada akhlak yang baik”. (HR. Abu Daud).

Sedangkan bila berbicara tentang kebenaran, maka ini tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mendasarinya. Karena, sudah pasti ini menyangkut masalah ibadah mahdhoh, yaitu ibadah yang bersifat spiritual, ibadah yang sudah baku, sudah jadi tinggal mengamalkan apa adanya, sebagai bentuk hubungan vertikal antara manusia dengan Alloh, seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Ibadah mahdhoh semacam ini tidak cukup hanya baik menurut manusia, tapi harus benar menurut Alloh dan Rosul (bedasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits) bila ingin amalan tersebut diterima oleh Alloh Ta’alaa. Jadi, tidak cukup dengan penilaian baik dari manusia saja, tapi harus baik dan benar menurut Alloh dan Rosul-Nya. Bila ingin begitu, maka bahan pengajaran yang harus disampaikan kepada anggota masyarakat yang akan kita bimbing berangkat dari Kitabush Sholah, yaitu tentang tuntunan sholat, dengan harapan agar pada hari kiamat nanti mendapat hisaban/hitungan pertama amal yang baik. Kalau memang demikian yang menjadi tujuannya, jelas orang yang hanya mengedepankan ibadah mahdhoh saja karena mengejar prestasi di akhirot, maka tidak banyak manfa’at yang dapat diraih oleh masyarakat lingkungannya dalam kehidupan di dunia ini. Karena, ia semata-mata hanya memikirkan kepentingan, keselamatan dan kebahagiaan akhirot saja, sementara melupakan kepentingan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia. Timbul pertanyaan, “Apa bahagia, bila beribadah dalam keadaan yang tidak nyaman, tidak aman, dimusuhi; diolok-olok, digegeri, dirintangi? Lantas berkelit untuk menenangkan hati, ngadem-adem ati (membuat hati agar tetap dingin), lalu bersilat lidah, berkata, “Inilah ciri-ciri agama yang benar, sudah gawan bayen (pembawaab bati) bahwa agama yang benar itu pasti dimusuhi!”. Padahal hal ini sangat bertolak belakang dengan do’a yang kita ucapkan setiap kali kita berdo’a, “Robbanaa Aatinaa Fid-dunyaa Hasanah, Wafil Aakhiroti Hasanah, …”, artinya: “Ya Tuhan kami, berilah kami di dunia ini kebahagiaan, dan di akhirat kebahagiaan, …”. Sebab, itu merupakan bentuk dari kesalahan manusianya sendiri yang kurang jeli, kurang teliti dan kurang hati-hati dalam memilih dan menerapkan dalil-dalil haq dari Al-Qur’an dan Al-Hadits di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akibatnya apa, barang yang sakti itu berobah menjadi bumerang yang mencelakai pada dirinya sendiri.

Sekedar tahu saja, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu ibarat spare pate / onderdil suatu kendaraan. Maksudnya, walaupun ayat-ayat Al-Qur’an itu benar dan adil, bila yang menyampaikannya tidak bisa, maka akan menimbulkan dampak buruk. Ya, seperti onderdil yang baru saja diimport dari Jepang, atau Jerman maka harus dirakit oleh tangan terampil atau mekanik ahli. Dan bila kendaraan itu sudah jadi, ia harus dikendarai oleh pengemudi yang sudah ahli pula, mengerti dan paham rambu-rambu lalu lintas dan atau marka jalan. Sebaliknya, apabila tidak dirakit oleh tangan terampil/mekanik ahli dan dikendarai orang yang belum ahli mengemudi, maka akan menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti terjadinya kecelakaan fatal, baik bagi dirinya ataupun orang lain. Akibatnya, semua pihak dirugikan, baik yang menabrak maupun yang ditabrak. Seperti yang kita lihat di masyarakat, katanya mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits, tapi kok jadi terorisme, kok mukuli orang, kok mengganggu ketertiban umum, kok mencoreng moreng citra agama Islam? Apakah itu yang namanya rohmat?

Mungkin kita pernah mendengar sebuah ungkapan, “Yang penting apa yang kita amalkan itu baik dan benar menurut Alloh, bukan baik dan benar menurut manusia!” Alasannya sepele, karena manusia tidak punya surga dan neraka. Tanpa kita sadari, bahwa dengan memiliki atau mengacu pada prinsip seperti ini, berarti kita telah mengabaikan manusia pada umumnya tanpa terasa. Maka, boleh jadi di dalam kehidupan dunia ini kehadiran kita tidak banyak yang bisa diambil manfa’atnya oleh mereka. Dengan demikian, bisa jadi kehadiran kita di lingkungan tempat tinggal mereka, tidak dianggap penting, tidak mereka butuhkan, bahkan tidak berguna bagi mereka. Kalau sudah begitu, alamat bakal mereka buang. Seperti halnya kita, jika sudah menganggap sesuatu tidak penting, maka sudah pasti akan kita buang, setidak-tidaknya kita akan meremehkannya. Karena, sudah kita anggap tidak berguna lagi. Saya, sebagai ustadz sangat prihatin melihat kondisi yang seperti ini. Ini, sangat…, sangat bertentangan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, yang berbunyi: “Khoirun Naasi Anfa’uhum Lin Naasi” artinya: “Sebaik-baknya manusia adalah mereka yang banyak bermanfa’at bagi manusia”. Mungkin kita semua masih ingat kisah lama tentang “Juret” dan “Alqomah”. Juret, masjidnya dirobohkan masyaraakat. Dan Alqomah ketika menjelang kematiannya tidak dapat mengucapkan lafadhz “Laa ilaaha illallooh”. Padahal, mereka berdua ahli dalam ibadah mahdhoh; rajin sholat, rajin shodaqoh, rajin puasa, tapi ia lalai melakukan ibadah ghoiru mahdhoh, ibadah sosial, yaitu mereka berdua meremehkan ibu kandungnya. Si Juret, tidak menjawab panggilan ibunya. Sedang Alqomah lebih menyayangi istrinya ketimbang menyayangi ibunya. Akibatnya, Alloh menolak mentah-mentah ibadah mahdhohnya sehingga mereka berdua mau melakukan ibadah ghoiru mahdhoh, ibadah sosial yakni berbakti kepada ibu mereka, barulah amal ibadah mereka itu bermanfa’at dan berarti buat mereka. Barulah Alloh mau menerima ibadah mahdhoh mereka. Maka wajarlah, jika sikap yang ditanamkan di dalam golongan Islam tertentu akan ada konsekwensinya, akan menerima resikonya, akan memetik buahnya yaitu dirintangi, digegeri, bahkan sampai dengan perusakan tempat ibadah sebagai tanda bahwa anggota masyarakat menolak dakwah yang mengacu pada prinsip lebih mengedepankan ibadah mahdhoh ketimbang ibadah ghoiru mahdhoh, ibadah sosial. Tentu, kita tidak menginginkan kondisi seperti ini terjadi, kan?

Alangkah indahnya, bila kita racik sedemikian rupa antara kebaikan dan kebenaran itu sehingga menjadi sebuah formula yang ampuh, jitu untuk menyembuhkan penyakit hati masyarakat terhadap Lembaga Dakwah Islam Indonesia. Atau, menjadi semacam suplement yang bisa membuat mereka merasa bersemangat untuk mengikuti pengajian atau bimbingan agama yang kita adakan, mengamalkan ajaran yang kita berikan, menerima materi yang kita dakwahkan. Inilah yang medasari pemikiran saya untuk sesegera mungkin menulis beberapa hal yang berkaitan dengan kebaikan sebelum menggayuh kebenaran. Sering hal ini hanya dilihat dengan sebelah mata, dengan kaca mata yang berbeda, sudut pandang yang berbeda, paradigma yang berbeda pula. Terkadang, golongan-golongan Islam tertentu mendahulukan yang benar dengan meninggalkan yang baik. Maka, sering sekali golongan-golongan Islam tertentu yang nota bene sebagai wadah dakwah mendapatkan stigma negatif, terjadi kasus. Sebab, dalam mengamalkan sesuatu yang benar, seringkali tidak membungkusnya dengan kebaikan terlebih dahulu. Akhirnya, golongan-golongan Islam tertentu tersebut mendapat penolakan dari masyarakat. Islam itu agama yang mulia Ibarat logam mulia, yang semestinya disimpan pada tempat yang bagus, dan dipakaikan pada wanita cantik dalam acara-acara resmi yang bersifat ekslusif agar mendapat pujian dan decak kagum serta nilai dan derajat yang tinggi dari orang-orang sekitar. Sehingga, kesuksesan dakwah yang kita raih senantiasa diiringi pula dengan pujian, bukan cacian. Tapi, kenyataannya tidak demikian, emas mulia yang begitu berharga malah dibungkus dengan kotoran, dibawa dengan sembarangan, dan dipakai di tempat keramaian yang tidak jelas status orang-orangnya, ada bangsat, ada penjahat. Maka jangan menyesal bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena kesembronoan, kecerobohan. Kalaupun sukses dakwah seperti ini akan terus ternoda oleh cacian dan kebencian masyarakat, dan sangat sulit menghilangkan noda seperti itu. Karena, ini murni faktor kesalahan manusianya, bukan dari Alloh. Setelah kita lihat firman Alloh Ta’alaa di atas, ternyata apa yang dilakukan banyak golongan Islam dalam berdakwah seringkali tidak mengindahkan cara dan harapan Alloh serta Rosul-Nya, malahan mengikuti perasaan para da’inya sendiri.

Jika kita tarik kesimpulan pembahasan di atas tersebut, maka dalam ber-ammar ma’ruf dan nahi munkar, yang akrab kita sebut “berdakwah” hendaknya memulai dari yang baik dulu, bukan dari yang benar. Dan sesuatu yang benar harus dibungkus juga dengan sesuatu yang baik. Agar kelihatan lebih baik, dan menarik. Lihat saja, makanan yang enak dan lezat, jika dibungkus dengan ekslusive, sudah pasti akan membuat konsumen tertarik untuk membelinya, mengkonsumsinya sebab terbebas dari debu, jauh dari penyakit kolera dan disentri. Sebaliknya, jika berdakwah mengedepankan kebenaran dan mengemudiankan kebaikan. Ini ada kecenderungan menyalah-nyalahkan orang lain, sendirinya paling benar. Hasilnya, melahirkan kebencian masyarakat. Namanya orang benci, maka kesaksiannya tidak objektif. Ini sangat tidak menguntungkan buat kita maupun buat mereka. Ini akan merugikan kita dan mereka, bahkan akan mencoreng-moreng citra agama Islam, yang namanya begitu anggun, bagus sekali. Ibarat penjual makanan yang cantik, berpakaian rapi hanya mengedepankan enak dan lezat tapi mengabaikan kebersihan. Sudah pasti makanan tersebut rentan dengan penyakit kolera dan disentri. Ujung-ujungnya kerugian.

Seharusnya kita sadar, bahwa bisa dikatakan amalan itu benar bila amalan yang dikerjakan itu didasari dengan ilmunya terlebih dahulu. Lah, bagaimana amalan mereka itu bisa benar, wong ngaji Al-Qur’an dan Al-Hadits saja belum! Bagaimana mereka mau bergabung dengan pengajian kita, kita saja yang punya ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak mau begaul dengan mereka, atau mungkin ada alasan yang lain? Kita sendiri tidak mengamalkan firman Alloh, ”Ukhrijat Lin-Naasi Ta’muruuna bil Ma’ruufi Watanhauna ‘Anil Munkar”, artinya keluarlah pada manusia, serulah pada kebaikan dan cegahlah dari kemunkaran! Terus, dari mana mereka akan mendapat ilmu agama yang benar? Dari mana mereka bisa beramal ibadah yang benar? Kalau kita yang punya ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits ini acuh, cuwek, tidak peduli kepada mereka, tidak menjadikan mereka sebagai bagian dari tanggung jawab kita. Mestinya, kitalah yang mengisi acara taushiyah, yang mengisi acara bimbingan agama di rumah-rumah, sekolah-sekolah, kampus dan kantor-kantor, atau yang bertindak sebagai pengajar di majlis ta’lim, mushollah, masjid mereka itu.
Dengan memakai metode pendekatan manusiawi, kita dapat membangun “Publik Trust” kepercayaan masyarakat. Ini lebih efektif dan efisien serta tidak terlalu memakan banyak biaya hanya untuk menyelesaikan kasus. Sebab, masyarakat percaya bahwa kita adalah orang yang baik, aman dan nyaman buat mereka. Mereka percaya bahwa apa yang kita amalkan tidak hanya baik tapi juga sesuatu yang benar. Semua informasi kebaikan dan kebenaran itu mereka dapatkan dari komunkasi yang baik antara kita dengan mereka pada setiap kali kita mengisi acara keagamaan yang bersifat umum, yang kita adakan bersama mereka. Ketimbang memakai cara-cara “Pencitraan” yang terkadang terlalu memakan banyak biaya. Misal, agar citra dakwahnya baik, maka dilakukan pendekatan kepada Toga (tokoh agama), Todat (tokoh adapt) dan Tomat (tokoh masyarakat), jelas ini membutuhkan biaya. Belum lagi bila harus merapat ke MUI untuk menghapus stigma negatif. Ini, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi ke KODIM dan kantor polisi untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik dengan sebagian masyarakat. Memang, tidak disangkal lagi bahwa agama Islam ini membutuhkan tidak sedikit pembelaan, baik yang berupa harta, tenaga, pikiran maupun lisan. Pendek kata, tidak ada yang bisa menyangkal lagi, bahwa setiap lini dalam dakwah keagamaan selalu saja membutuhkan pembelaan berupa biaya. Tapi, kalau bisa yang diminta sih biaya yang tidak sedikit itu bukan habis hanya untuk menyelesaikan kasus sosial, penyelesaian konflik, atau sebagai uang pelicin buat MUI, KODIM, POLISI hanya sekedar untuk mengurusi “Pencitraan”. Bila itu tidak dilakukan, nanti citra dakwah kita bisa buruk. Kalau begitu caranya, boleh jadi nanti setiap kali ganti orang di MUI, Kepolisian, Koramil akan meminta bagian jatah seperti pendahulu-pendahulunya. Wah, bisa buat lahan maisyah (penghidupan) mereka, doong! Dan tidak menutup kemungkinan hal itu bakal terjadi, bila kita tidak segera memutar haluan dari “Pencitraan” ke “Publik Trust”. Atau, tidak harus memutar haluan, tapi meneruskan dari “Pencitraan” menuju ke “Publik Tras”. Caranya, jadilah orang yang baik, jadilah sebagai hamba Alloh yang baik, jadilah anggota masyarakat yang baik, jadilah sebagai warga negara yang baik. Baru, setelah itu mengajak orang lain untuk berbuat baik sehingga memliki budi pekerti yang baik, yaitu budi pekertinya Rosululloh “Akhlaqul Karimah”. Kemudian, meningkat pada mencegah orang lain yang hendak melakukan perbuatan munkar dengan cara-cara yang arif dan bijaksana. Selanjutnya, giring mereka hingga beriman kepada Alloh. Caranya, “ajak mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits” bisa dimulai dengan privat dulu sebelum kita gabungkan di pengajian kelompok. Dengan kata lain, yaitu kita mesti berani “jemput bola” artinya kita-lah yang mendatangi mereka untuk memberikan bimbingan agama dengan materi yang bersifat umum kepada mereka, seperti Kitabul Adab (budi pekerti), Kitabun Nawafil (sholat-sholat sunnah), Kitabul Jannah Wannar (surga- neraka), dan atau bisa juga berupa lembaran dalil-dalil tentang keutamaan berdzikir, pentingnya mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan lain-lain sebagainya. Jangan menunggu mereka datang ke tempat-tempat ngaji kita. Mana mungkin-lah, mereka akan mau mendatangi tempat-tempat ngaji kita tanpa ada pengaruh positif dari kita sebelumnya yang bisa membuat mereka tertarik. Sebab, mereka masih merasa malu. , dengan alasan belum bisa baca qur’an, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, orang yang tidak mau “Ukhrijat Lin Naas” keluar ke masyarakat untuk melakukan ammar ma’ruuf dan nahii munkar alias “berdakwah” maka do’anya tidak makbul, permintaannya tidak akan diberi dan jika minta tolong tidak akan ditolong oleh Alloh. Sedemikian besar penting dan pengaruhnya ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits bagi masyarakat luas dan buat kita. Maka, pantaslah kalau Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Ilmu itu (dibutuhkan) sebelum berbicara dan beramal”. (HR. Bukhori, juz 1 hal 25).
Pernahkah hal tersebut terpikirkan dalam otak kita? Jika sudah terpikirkan, tapi mengapa, yang sering terjadi di kalangan kita menghukumi orang lain yang ilmunya jauh di bawah ilmu kita. Untuk lebih jelasnya, saya akan berbagi pengalaman dalam kesempatan ini. Insya Alloh dengan mau berbagi dapat meringankan beban di hati. Ceritanya begini: Sekitar, kurang lebih tahun 1994, saya pernah ditertawakan oleh seorang tokoh agama senior di Jakarta Selatan. Kejadian itu tepatnya, ketika saya melaporkan kepadanya tentang salah seorang anggota masyarakat yang masih dalam bimbingan saya, yang sudah saya bimbing keagamaannya selama kurang lebih 1 tahun tapi belum juga menunjukkan tanda-tanda adanya peningkatan dan kepahaman dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Saya berkata kepada beliau dalam laporan saya, “Pak, peserta didik saya yang bernama Etiko Projo Dewoso yang bapak titipkan kepada saya sudah 1 tahun lamanya saya bimbing ternyata tidak ada tanda-tanda adanya hidayah padanya, oleh karena itu beliau akan saya lepas saja daripada tidak ada hasilnya”. Lantas, apa kata beliau kepada saya? Beliau berkata, “Mas Bandi, kamu tahu tidak, bahwa yang memberi hidayah kepada seseorang itu adalah Alloh, bukan kamu! Siapa yang tahu kalau Alloh akan memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya? Tidak ada yang tahu, kan? Mungkin besok, bisa lusa, minggu depan, bulan depan atau bahkan tahun depan Alloh baru memberinya hidayah. Oleh karena itu, lanjutkan bimbingan agama terhadapnya. Pokoknya, kamu jangan sampai bosan, jangan berhenti kecuali bila ia menyatakan sikap tegasnya untuk berhenti mengaji dengan kamu! Baru boleh, kamu berhenti mengajarnya, dan meninggalkan dia. Misalnya dia berkata, “Ustadz, saya minta ma’af ya, pengajian kita untuk sementara libur dulu sampai nanti saya hubungi kembali”. Atau dia berkata, “Pak Ustadz, pengajian kita sampai di sini saja, karena saya masih ……. (dengan berbagai macam alasan, yang intinya menolak). Selama orang yang kamu bimbing tidak menolak, maka teruskan tugasmu menyampaikan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena yang memberi hidayah kepada seseorang itu bukan kehendakmu, tapi kehendak Alloh”. Sontak saya sadar, seperti baru saja dibangunkan dari tidur pulas. Tahu nggak, apa yang saya rasakan? Kulit wajah saya seperti dirobek, dicabik-cabik oleh perasaan maluu! Tapi, tak apalah, saya coba melihatnya dari sisi positifnya. Langsung semangat dan kesungguhan saya tumbuh subur serasa habis diberi pupuk untuk kembali membimbing Bapak Etiko Projo Dewoso, yang semula akan segera saya tinggalkan. Setelah itu yang terjadi Apa? Ternyata, 7 hari kemudian Alloh berkenan membuka pintu hatinya untuk menerima apa yang saya ajarkan kepadanya, bahkan waktu pengajian privat dengan dia sebelumnya hanya berdurasi 5-15 menit dalam satu kali pertemuan per minggunya, itu pun sering dia abaikan, bahkan tidak jarang dia mengacuhkan saya. Tapi berikutnya, berubah menjadi 2 jam satu kali pertemuan dalam satu minggu dengan suasana yang penuh semangat. Seiring berjalannya waktu, kepahaman ilmu Al-Qur’an dan Al-haditsnya terus berkebang pesat menunjukkan peningkatan yang signifikan, durasi waktu mengajinya pun dia tambah lagi dalam seminggu dua kali, dia sengaja cuti dua hari dalam seminggu untuk mengaji ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada saya. Hasilnya, “Al-Hamdulillaah, akhirnya ia jadi orang yang memiliki kepahaman agama juga”, saya bergumam dalam hati. Ketika sesekali saya berjumpa dengannya, ia berkata dalam nada memuji, “Saya bangga punya seorang muballig seperti kamu, sabar, ulet, dan punya wawasan luas. Yang paling bangga ialah Nana Nasmi Namiana selaku istrinya. Yang paling membanggakan lagi adalah mereka berdua sudah dapat menunaikan ibadah haji. Nah, berangkat dari sanalah Ibu Hj. Nana, nama lengkapnya adalah Nana Nasmi Namiana mulai mengajak para sahabat dekatnya. Dari pengalaman tersebut, saya banyak belajar untuk bisa mensyukuri atas kemampuan orang-orang yang masih dalam bimbingan saya, bahkan saya menjadi muballigh ini bertugas memelihara kepahaman orang yang saya bimbing keaghamaannya mulai dari 0,1 % s/d mendekati 100 %. Jadi, saya harus mempunyai kesabaran berpangkat dua. Saya harus memiliki hati yang lunak berpangkat dua. Biar kehadiran saya dan ilmu yang saya berikan menjadi manfa’at, dan sebagai rohmat, bukan malah menjadi beban moral dan mental.

Kita semua bisa kok memiliki sifat arif, bijaksana dan berjiwa besar, berhati besar bila saja kita dapat menyadari bahwa sebagai pengurus, muballigh, muslim, mukmin mendapat amanat tugas Alloh dan Rosul-Nya, yaitu membimbing anggota keluarga, anggota masyarakat, bahkan warga negara yang masih pemula dengan kepahaman agama Islam mulai dari 0,1 % s/d 99,9 %, mendekati 100 %, bila dapat memahami firman Alloh Ta’ala dan sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, berikut ini dengan benar tanpa ada tendensi apa pun. Baiklah kita perhatikan dengan seksama!
1). Firman Alloh Ta’alaa, dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 13, yang berbunyi
Yang artinya: “Dan barangsiapa yang ta’at kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh memasukkannya kedalam surga yang di dalamnya ada sungai-sungai yang mengalir, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keuntungan yang besar”.

2). Firman Alloh Ta’alaa, dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 40, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh tidak akan menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarroh (biji sawi), dan jika ada satu kebaikan yang hanya sebesar dzarroh, niscaya Alloh akan melipat gandakannya dan akan memberikan dari sisi-Nya berupa pahala yang besar [artinya Alloh tidak akan mengurangi pahala orang yang mengerjakan kebaikan walaupun hanya sebesar biji sawi atau semut hitam, bahkan kalau dia berbuat satu kebaikan, maka di sisi Alloh nanti akan dilipat gandakan, dan dia akan diberi pahala yang besar].

3). Sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, dalam Hadits Shohih Muslim, Kitabul Iman, Juz: 1, Hal: 65, yang berbunyi:
Yang artinya: “Tidak masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi”.

Percayalah, bila saia semua pengatur, pengurus, ustadz, mukmin dan muslim dapat memahami serta memaklumi tiga buah ungkapan di atas, maka buahnya adalah hati akan menjadi lebih lembut, dan lunak. Sehingga tidak gampang memvonis atau menghukumi terhadap orang lain. Karena, bila dilihat secara objektif dari perspektif yang berbeda maka ketiga ungkapan di atas sama sekali belum berbicara tentang penting dan wajibnya ber-Amir ataupun ber-Bai’at, bahkan belum menjamah tentang perlunya ber-Jama’ah. Bahkan, boleh jadi orang tersebut malah belum bisa sholat, tapi Alloh dan Rosul sudah berani memberi jaminan masuk surga kepada orang yang ta’at, dan memiliki keimanan yang baru secuil, kebaikannya baru seupil (kecil) sekali. Mengapa kita tidak bisa berbuat demikian? Sering sekali, sesuatu yang kecil asalkan baik, itu sangat berarti dan berharga sekali di mata Alloh, tapi tidak di mata pengatur, pengurus, dan tidak juga di mata muballigh, meskipun tidak semua pengatur, pengurus dan muballigh begitu. Padahal, sering sekali ditanamkan suatu pemahaman bahwa, “belum dikatakan bersyukur pada (nikmat) yang besar, bila belum bersyukur pada (nikmat) yang kecil”. Think big start small, meraih yang besar mulai dari yang kecil. Tidak ada istilah “besar”, bila tidak ada istilah “kecil”.

La wong Alloh yang punya surga saja menawarkan surga dengan harga murah kepada bamba-Nya. La wong Rosul yang punya syafa’at juga bermurah hati kepada umatnya. Maasak, kita harus menawarkan surga dengan harga mahal ke anggota masyarakat yang jelas-jelas masih dalam rangka dibimbing, sedang proses menuju menjadi orang yang baik dan benar. Padahal kita yang membinglah yang maha tahu sebatas mana ilmu yang telah kita berikan kepadanya, sejauh mana ilmu yang dimilikinya. Sudah pasti ini membutuhkan waktu yang tidak singkat, tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak seperti yang diperkirakan oleh kebanyakan muballigh yang lain, yaitu menggarap orang hanya memakan waktu 4 bulan. Apa ini namanya bukan dikarbit? Bisa dibayangkan, seperti apa kualitas keimanan orang Islam hasil karbitan! Sudah pasti, tidak hebat-hebat amat. Oleh karena itu, kita-lah yang lebih tahu, mau dibawa kemana mereka? Yaa, sudah pasti ke surga-laah. Tentu, ini membutuhkan waktu yang tidak singkat, alias “Watulun Zamani”, artinya dalam waktu yang lama, baru ilmu bisa membekas, bisa dipahami dalam hati. Hasilnya tidak gampang terpengaruh, insyaa Alloh. Muhammad, sebagai seorang nabi dan rosul saja butuh waktu 23 tahun lamanya untuk mensukseskan dakwahnya. Belum lagi, dalam dakwahnya yang selalu didampingi Malaikat Jibril, dibekali wahyu dan mu’jizat. Lah kita, membimbing umat cuma 4 bulan, bisa apa?

Sesekali saya berhenti mengetik lalu merenung, bahwa pertemuan saya dengan dengan seorang tokoh agama itu merupakan sebuah titik balik yang sangat penting bagi hidup saya sebagai seorang muballigh. Itulah saat yang telah merobah cara saya dalam membimbing anggota masyarakat. Sejak itu, saya mulai tahu bahwa ilmu lebih utama ketimbang mengamal, dalam pengertian bahwa orang bisa saja masuk surga sekalipun ia tidak ber-amir, ber-ba’it, ber-jama’ah. Dengan catatan, jika memang ilmunya belum sampai ke masalah ber-amir, ber-bai’at, dan ber-jama’ah. Maka dari itu, bila ada orang yang baru ikut mengaji ternyata ia meninggal dunia, sementara ia belum mengangkat seorang Amir, belum ber-bai’at alangkah bijaksananya bila mayat orang tersebut diurusi sebagaimana mestinya dengan baik dan benar. Soal kekurangannya adalah sepenuhnya menjadi urusan dia dengan Alloh. Yang mendasarinya adalah firman Alloh Ta’alaa dalam Al-Qur’an, Surat Al-Isroo’ / Bani Isroo’il, No. Surat: 17, Ayat: 36, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya”.

Jika demikian, maka saya kurang bersepakat terhadap sebuah ungkapan yang sudah terlanjur berkembang, yang mencerminkan sikap kurang arif dan bijaksana, yaitu “Nasehat tanpa 5 Bab adalah tahi bonjrot”. Oleh karena itu perlu kiranya dalam kesempatan ini akan saya uraikan dengan jelas sebuah ungkapan yang tercantum dalam Hadits Nasa’i, Juz 7, hal: 157, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Yang artinya: “Sesungguhnya agama adalah nasihat, sesungguhnya agama adalah nasihat, sesungguhnya agama adalah nasihat. Mereka berkata “Untuk kepentingan siapa ya Rosulalloh?” Rosul bersabda: “1. Untuk kepentingan Alloh, 2. Untuk kepentingan kitab Alloh, 3. Untuk kepentingan Rosul-Nya, 4. Untuk kepentingan para Imamnya orang-orang Islam, 5. Dan untuk kepentingan umumnya mereka”.

Dalam arti bebas, bahwa ungkapan di atas hendak mempertegas bahwa yang namanya nasehat itu materinya diperbolehkan membahas tentang; Alloh, kitab Alloh, Rosul-Nya, Imam-imamnya orang Islam, dan kepentingan pada umumnya ummat manusia. Apakah salah, jika kita sedang memberikan taushiyah atau nasehat kepada anggota masyarakat yang belum jama’ah, boro-boro mengerti tentang ber-amir, dan ber-bai’at. La wong, Islam saja belum, mengimani adanya Alloh saja belum. Kalaupun sudah beragama Islam paling juga Islam KTP, kitab Al-Qur’an saja tidak punya, Rosul Muhammad saja dia tidak kenal, bila materi nasehat yang kita sampaikan kepadanya adalah tentang adanya Alloh, ciptaan-Nya, tentang kitab Al-Qur’an, tentang siapa itu Rosul Muhammad. tanpa menerangkan 5 Bab?” Tidak salah kan…! Katanya, kita ini harus papan, empan, adepan? Piye to…! Mengingat bahwa 5 Bab tersebut adalah hasil dari ijtihad seorang imam. Sementara, orang yang sedang dinasehati itu belum manqul Bab Ke-imamam. Balik, saya akan bertanya kepada Saudara, apakah orang yang belum jama’ah, belum berbai’at itu, boleh mendengarkan Teks nasehat bulanan dari Bapak Imam? Pasti Saudara menjawab, “Tidak boleh, karena ia belum jama’ah”. Tapi mengapa, ketika ada orang jama’ah yang sedang menasehati orang lain hanya karena tidak menerangkan 5 Bab saudara katakan nasehat seperti itu adalah tahi bonjrot? Bahkan, penasehat seperti itu Saudara ragukan kualitas jama’ahnya.

Coba Saudara amati dalil di atas dengan seksama, bahwa bab ke-amiran itu baru disentuh setelah nasehat untuk kepentingan Rosul-Nya, yaitu pada urutan keempat. Dan Saudara perlu tahu juga bahwa suatu saat ada seorang sahabat yang mendatangi Rosululloh, lalu ia minta kepada Rosululloh untuk dinasehati. Pada saat itu Rosululloh menasehatinya dengan kalimat, “Laa Taghdhob” artinya “Kamu jangan suka marah!”. Nah, Saudara berani mengatakan bahwa nasehat Rosululloh ini adalah tahi bonjrot? Kalau boleh jujur, coba Saudara ingat-ingat kembali ketika Saudara sedang menasehati istri atau anak Saudara karena telah melakukan kesalahan, apakah sebelumnya Saudara terangkan dulu “5 Bab.., baru kemudian Saudara menasehati mereka?”

Memang tidak salah, jika ada pengurus yang mengatakan bahwa nasehat tanpa 5 Bab itu adalah tahi bonjrot, toh niatnya baik. Tapi, Saudara harus mencernaknya dengan baik, jangan langsung Saudara telan mentah-mentah! Sebaiknya, Saudara takar dulu baik-baik kapan nasehat harus menerangkan 5 Bab itu disampaikan? Tentu, maksudnya adalah ketika nasehat yang bersifat kedap air di intern kalangan ahlul jama’ah, seperti nasehat di dalam pengajian “Kedap Air, pemantapan jama’ah” atau “Penerobosan”. Bukan di nasehat yang bersifat umum. Yang saya maksudkan umum di sini adalah pengajian yang sifatnya masih terdapat campuran antara orang jama’ah dan orang non jama’ah, alias antara orkit dan orlu. Dan perlu Saudara pahami, bahwa yang namanya 5 Bab itu (yaitu: 1). mengaji, 2). beramal, 3). membela, 4). berjama’ah, 5). ta’at Alloh, Rosul, Ulil Amri) pelaksanaannya tidak sekaligus, tapi dengan bertahap, perlu proses lanjutan. Sebagaimana dulu, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan agama Islam ini kepada umatnya, juga secara bertahap disesuaikan dengan ilmu pengetahuan agama umatnya. Beliau pernah menerangkan, “bahwa orang yang menjalankan sungguh-sungguh rukun Islamnya dengan tidak menambah atau pun menguranginya, maka ia masuk surga”. Coba, kira-kira apakah orang yang dimaksud oleh Rosul itu sudah mengerti masalah bai’at? Jawabnya, “Belum”. Karena, ilmunya baru sampai segitu-gitunya, baru seputar 5 rukun Islam yang dia tahu, belum sampai ke syarat menjadi orang iman (6 rukun iman), apalagi syarat menjadi orang jama’ah (ber-Amir, ber-bai’at dan tho’at), masih jauh.

Dulu, ketika paman Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, yang bernama Abu Tholib sudah mendekati kematian, Rosululloh berkata kepadanya, “Hai Paman, ucapkanlah kalimat “Laa Ilaaha Illallooh”, maka engkau saya jamin masuk surga! Nah, kira-kira kalau pada waktu itu Abu Tholib mau ta’at kepada Rosululloh, prakteknya mau mengucapkan kalimat tahlil yang diajarkan oleh Rosululloh, kalau mati masuk surga, apa tidak? Jawabnya, “Masuk surga”. Karena ilmunya baru sampai di situ, tapi mau ta’at kepada Rosululloh. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah mengaji Himpunan Kitabu Imaroh dan Kanzil Umal, boro-boro mengamalkan, ngaji aja nggak pernah. Apa lagi masalah 5 Bab, makin tambah tidak mengerti. Hanya saja kebetulan, dalam cerita itu Abu Tholib tidak mau mengucapkan seperti apa yang dipinta Rosululloh. Ini hendak menunjukkan bahwa hidayah itu kehendak Alloh bukan kehendak Rosul-Nya. Walaupun yang dikehendakinya itu adalah orang yang sangat beliau cintai. Kita tahu Syeikh ‘Abdurrahman As-Sudais, selaku imam sholat Masjidil Harom, apakah dia mengerti tentang 5 Bab? Jawabnya, “Tidak”. Sah-kah kalau kita sholat bermakmum dengannya? Jawabnya, “Pasti sah”. Apa lagi, bila kita mengenang sebuah kisah tragis sang “Al-Gojo” yang pernah membantai 99 orang, ia genapkan menjadi 100 orang dalam cerita Rosululloh, bahwa dia baru berniat untuk bertaubat setelah mendapat jawaban bahwa taubatnya masih bisa diterima asalkan mau datang ke sebuah desa yang penduduknya sholih. Tapi, belumlah ia sampai ke tempat tujuan taubatnya, ia keburu mati, maka ia dihukumi masuk surga. Apakah orang ini sudah punya kitab Al-Qur’an, apa sudah punya kitab himpunan Kitabush Sholah? Apa sudah manqul Kitabu Imaroh, Kanzil Umal? Apakah dia sudah mengangkat seorang Amir? Dan apakah dia sudah berbai’at? Jawabnya, “Belum”. Hebat ya, agama Islam. Betul-betul agama Islam itu rohmat.

Di dalam golongan-golongan Islam tertentu, tidak sedikit dari staf ke-Imaman, baik pengatur, pengurus bahkan muballigh sendiri kelihatannya sangat sulit, pelit, medit untuk memberi penyaksian baik, dapat pahala, masuk surga bagi masyarakat dalam bimbingannya yang belum ber-Amir, ber-Bai’at, belum ber-Jama’ah. Mereka cenderung memiliki sifat sombong “Waghomtun-Naas” yaitu meremehkan manusia. Padahal sepengetahuan saya, bahwa filosofi seorang muballigh sebagai penyampai ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, mendidik dan membina anggota masyarakat di dunia ini bukanlah untuk menghukumi. Karena, menghukumi itu hak Alloh Ta’alaa. Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dahulu pernah mengungkapkan, “bahwa saya hanya membagi, tapi Alloh-lah yang memberi” maksudnya adalah Rosul bertindak hanya sebagai orang yang membagi ilmu, tapi Alloh-lah yang memberi hidayah. Dari sini, saya bisa mengambil hikmahnya, di antaranya adalah saya sebagai seorang muballigh hanya bisa membagi ilmu pengetahuan agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, tapi hanya Alloh yang bisa memberi hidayah dan kepahaman kepada orang yang Dia kehendaki dari orang-orang yang mengikuti bimbingan agama yang saya berikan kepadanya, yang menjadikan saya sebagai guru privat mereka, guru spiritual mereka.

Sudah semestinya, bagi saya sebagai seorang muballigh harus mempunyai filosofi bahwa tugas sebagai muballigh adalah merangsang anggota masyarakat yang masih dalam bimbingan saya agar lebih hobby dan merasa enjoy seperti tak punya beban ketika mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits bersama saya. Suasana pengajian privat, saya buat sangat bersahabat, dan menyaudara. Suasana pengajian yang dipenuhi puja-puji tanda bersyukur terhadap ilmu yang sudah diterima, menanyakan pelajaran yang telah berlalu dan yang akan datang, serta mendiskusikan kekurangan dengan penuh keterbukaan. Inilah hakikat jiwa muballigh sebagai seorang pendidik yang manusiawi. Ternyata, dengan cara seperti itu mereka merasa nyaman, merasa diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hati dan perasaan. Dengan begitu, mereka dapat menggunakan haknya untuk memilih dan menentukan sikapnya sesuai dengan ilmu yang telah mereka miliki, dan pahami. Kalaupun ternyata masyarakat yang kita garap itu tidak juga mau insyaf, bahkan boleh jadi malah berhenti mengaji karena sesuatu, maka sudah pasti penyebabnya bukan kita, dan pada lain kesempatan mereka akan mencari-cari kita untuk dijadikan guru ngajinya. Tidak ada yang sakit hati pertanda kecewa terhadap sikap kita. Tidak ada istilah “kecetit atau kecentet” pertanda mereka kapok mengikuti majlis ta’lim kita. Itulah indahnya agama Islam. Itulah nikmatnya Islam sebagai rohmat, dapat melahirkan orang-orang hebat di mata Alloh dengan romat, dengan kasih sayang, tidak dengan memvonis / menghukum. Karena, menghukum itu bukan hak saya selaku seorang muballigh, tapi hak Alloh Ta’alaa sebagai Tuhannya manusia yang mempunyai surga dan neraka.

Pada saat saya kembali ke kalangan muballigh yang berstatus tugasan dalam acara pengajian muballigh satu desa, banyak hal sebaliknya yang sering saya saksikan melalui ungkapan mereka dalam menanggapi cara-cara saya membimbing anggota masyarakat agar sadar terhadap kewajiban mereka, yaitu menuntut ilmu pengetahuan agama dari Al-Qur’an dan Al-Hadits hingga menjadi insyaf, bahwa cara-cara yang saya pakai itu terlalu lunak, lembek, kurang greget, kesuwen (kelamaan). Itulah komentar mereka setelah mereka melihat cara-cara saya dari sudut pandang atau dengan kaca mata yang berbeda. Mereka telah memberi penilaian cara saya dalam membina dan membangun mental anggota masyarakat dalam bimbingan saya dengan penilaian yang tidak objektif. Pada waktu itu sebenarnya saya merasa malu sekali, karena dari sebagian sahabat saya dari kalangan muballigh ada yang mengatakan, “Ban, jika kamu menggarap orang biar cepat insyaf seharusnya kamu beri target, misalnya 4 bulan kamu garap, bila ia tetap juga tidak mau insyaf, kamu tinggalkan saja lalu cari yang lain, sebab yang lain masih banyak yang perlu dibimbing dan dibina!” Ungkapan ini sekilas kelihatan benar padahal tidak bener. Seolah-olah kita tahu dengan pasti bahwa 4 bulan kemudian orang yang dibimbing tersebut bakal insyaf, dan atau jika tidak insyaf ditinggal begitu saja, terus cari yang lain. Bukankah ini yang namanya mengikuti perasaan? Betulkah mengukur agama dengan perasaan? Jawabnya, tidak benar. Bahkan bisa dibilang pemahaman begitu sudah berbau bau dukun yang sok tahu, yaitu suka merasa tahu terhadap sesuatu yang masih samar.

Mungkin, apa yang mereka katakan itu ada baiknya, ada juga benarnya. Saya pun sependapat dengan mereka. Tinggal kita lihat dulu, siapa yang ada di hadapan kita? Siapa yang menjadi target akan kita bimbing itu? Bagaimana kualitas keimanannya? Bagaimana tingkat kecerdasannya atau kapasitas kepalanya? Bagaimana budi pekertinya? Menurut hemat saya, kita harus tahu dulu medan laganya seperti apa, baru kemudian kita terapkan cara-cara seperti apa yang paling tepat untuk membimbingnya. Kalau sudah kita ketahui dasarnya. Baru kita tetapkan metodenya, apakah mau dengan cara-cara yang keras? Cara-cara yang tegas? Atau dengan cara-cara yang arif dan bijaksana? Dengan begitu, orang yang kita bimbing tersebut bisa saja insyaf dalam tempo singkat, karena dia tergolong pada tingkatan keimanan yang sabiqum bilkhoirot, cepat. Ini namanya pengecualian. Misal, sebelum mengaji dengan kita, dia sudah banyak mengetahui tentang betapa penting dan wajibnya mengangkat seorang Amir, berbai’at dan jama’ah melalui buku-buku yang ia baca sebelumnya di luar sana. Ada pula yang muqtasid, sedang-sedang saja yaitu mengalir seperti air, artinya mengikuti apa yang kita sampaikan kepadanya, yang penting dari Al-Qur’an dan Al-Hadits pasti dia mau mengamalkannya. Dan ada juga yang dhzolimu linafsih, yaitu lemot, lamban artinya bagaimana dia segera kita kajikan masalah ke-Amiran, bai’at dan jama’ah, sedangkan prilakunya saja tidak mencerminkan budi pekerti yang luhur, tidak mempunyai kesemangatan untuk meningkat, tidak respon terhadap materi-materi yang sudah kita berikan. Maka, kata-kata yang tepat untuk mengomentari muballigh yang menggarap anggota masyarakat dengan melihat medan laganya terlebih dahulu, adalah “arif dan bijaksana”, bukan “terlalu lunak atau lembek”.

Nah, yang paling tidak menguntungkan adalah bila kita menyamaratakan cara-cara membimbingnya. Tidak dibedakan kemampuan dari daya serap mereka. Tidak dibedakan strata sosial mereka. Tidak dibedakan strata pendidikan mereka. Tidak dibedakan tingkat kepahaman mereka, “apakah dia itu tergolong yang sabiqum bilkhoirot, muqtasid, atau bahkan malah dhzolimu linafsih”. Cara-cara yang bersifat menyamaratakan itulah yang sering kali mengakibatkan masyarakat yang dibimbing gagal diramut, gagal insyaf karena tersinggung, merasa digurui, merasa dianggap bodoh banget, dianggap tidak bisa memilih, tidak paham. Inilah yang namanya kecetit atau kecentet. Kalau sudah begitu, lama sembuhnya, susah untuk diajak ngaji lagi. Baginya, muballigh yang seperti itu tidak berkesan, malah di matanya cenderung siap menerkam lalu menelan, hi.. “menakutkan”. Dan muballigh semacam ini menyebabkan berita tidak sedap, “gara-gara muballigh itu…tu, keluarga saya jadi tidak mau ngaji lagi, abis dia terlalu keras siih, ibarat bayi disuapi sambal sudah pasti bibirnya jontor, akibatnya bayi tersebut menangis petanda menolak”. Ya, Kalau pun berhasil menggarap bimbingannya hingga insyaf, sudah pasti kualitasnya tidak hebat-hebat amat. Karena, cara-cara mereka yang kaku itu bertolak belakang dengan prinsip Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam berdakwah, yaitu “Kami diperintahkan untuk mengajari manusia disesuaikan dengan kadar kemampuan akal mereka”. Bukan disesuaikaan dengan kemampuan dan kepahaman muballighnya.

Berkaitan dengan jangan mengukur kemampuan dan kepahaman orang lain dengan kemampuan dan kepahaman kita, maka Kholifah Ali bin Abi Tholib pernah berkata dalam hadits Shohih Bukhori, yang berbunyi:
Yang artinya: “Ceritakanlah kepada manusia sesuai dengan apa yang telah mereka ketahui! Apakah kamu senang bila Alloh dan Rosul-Nya didustakan?”

Muballigh sebagai mu’alim (guru) yang mengajari bimbingannya disesuaikan dengan kemampuan dirinya, atau dengan menciptakan suasana yang tidak nyaman karena tekanan, dan ancaman mungkin dianggapnya dapat membuat orang yang masih dalam ramutannya itu menjadi lebih disiplin, dan kelihatan cepat paham, cepat insaf. Namun di lain pihak, justru dia bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat orang yang dibimbingnya. Dalil-dalil dalam ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits banyak yang menunjukkan bahwa hidayah, rohmat itu adalah hak pribadi Alloh. Pernah suatu saat Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam memberi tekanan bahwa, “Sodaqoh tidak boleh diberikan kecuali kepada orang Islam”. Lantas Alloh Ta’alaa menegurnya, “Bukan urusanmu Muhammad memberi hidayah itu (mau shodaqoh saja pilih-pilih), akan tetapi Alloh yang memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki”. Kemudian Rosululloh sadar, terus meralat undang-undang yang sudah dibuatnya menjadi lebih lunak, “Silahkan shodaqoh itu kalian berikan kepada siapa saja yang minta dari semua agama”.

Jama’ah yang insafnya karena tertekan oleh penjelasan muballigh yang saklek, penuh dengan kata-kata ancaman, “pokoknya, kalau nggak jama’ah mati sewaktu-waktu masuk neraka”, “kalau nggak punya Amir hidupnya saja harom, apalagi njima’nya”, “nanti jika tidak berbai’at sholat dan amalan lainnya tidak diterima”. Maka, kelak setelah insaf, ia pun akan suka berbuat yang sama dengan muballigh yang menggarapnya. Menurut dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits keimanan manusia ternyata menunjukkan tidak statis pada posisi sabiqum bilkhoirot (semangat dalam kebaikan), melainkan dapat surut menjadi muqtasid (biasa-biasa saja), bahkan turun drastis menjadi dhzolimu linafsih (suka menganiaya diri sendiri). Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan, motivasi (dorongan) yang didapat dari muballigh atau orang yang menggarapnya (mengammar ma’rufinya). Dengan demikian keimanan dan kepahaman seseorang dapat meningkat. Sebaliknya dapat juga menurun, bahkan bisa menjauh dan akhirnya menghilang. Dalam arti orang yang diammar ma’rufi malah mutung, putus asa dan tidak jadi insyaf. Bahkan lebih buruk dari itu, yaitu malah menjelek-jelekkan pengajian.

Ternyata, ketika sedang melakukan ammar ma’ruf sering kali ditemukan juga dalam membimbing anggota masyarakat dengan cara menekan, memvonis, bahkan tidak jarang mengancam dengan mencap “Tidak paham”, memberi label “kafir” kepada orang yang tidak sepaham dengannya. Hendaknya, ketika kita sedang mengadakan ammar ma’ruf dan nahi munkar janganlah kita mengukur kualitas dan atau kepahaman orang-orang yang kita bimbing dengan kwalitas, kepahaman dan kemampuan kita yang sudah jauh di depan, sudah mengaji Kitabu Imaroh, Kanzil Umal sehingga tahu betul tentang pentingnya ber-Jama’ah, ber-Bai’at dan mempunyai seorang Ulil Amri, sudah mengerti dan paham bagaimana caranya biar hidup kita ini sah, halal. Sedangkan kwalitas dan kepahaman agama mereka belumlah sejauh dan sedalam pengetahuan dan kepahaman kita. Oleh karena itu, jadilah seorang muballigh sebagai guru yang tidak hanya saja pintar secara keilmuan, tetapi juga harus memiliki karakter yang kuat, yaitu karakter yang membangun mental, bukan merusak mental.

Tidakkah kita sadar, bahwa para ahli hadits pada zaman dulu sangat selektif dalam menyampaikan hadits kepada orang lain. Utamanya hadits-hadits yang menyangkut materi kelas tingkat tinggi, seperti ber-Amir, ber-Bai’at, ber-Jama’ah. Terlebih kepada orang yang belum benar-benar terukur tingkat kemampuan dan kepahaman mereka. Hal ini dapat kita jumpai dalam hadits Shohih Bukhori dari Abi Huroiroh, ia berkata:
Yang artinya: “Aku hafal dua karung hadits dari Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, salah satunya sudah aku siarkan sedangkan yang lain seandainya aku siarkan kepada sembarang orang maka bisa-bisa saya disembelih”.

Terkadang, anggota masyarakat yang baru dibimbing keagamaannya baru seputar akhlaq dan kesucian; berwudhu’, mandi junub, sholat dan adab. Karena, yang bersangkutan hendak menikah atau takut mati sewaktu-waktu lantas dibai’atkan dengan cara dikarbit dengan alasan biar hidupnya sah. Padahal, sahnya menikah itu tidak ditentukan oleh beramir, berbai’at ataupun berjama’ah melainkan ditentukan oleh 5 syarat nikah, yaitu sama-sama suka, ada wali, ada mahar, ada dua orang saksi, ijab-qobul. Mengapa tidak diajari terlebih dahulu masalah seputar ilmunya menikah atau berumah tangga yang Islami hingga paham. Kemudian, sambil berjalan secara bertahap diajari tentang betapa pentingnya menetapi 5 rukun Islam, kemudian 6 rukun iman dan baru masuk kepada materi pentingnya menetapi 5 Bab.

Coba kita lihat, baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tentang kapan saatnya orang-orang berbai’at kepada Rosul? Yaitu setelah mereka menjadi muslim atau mukmin. Sedangkan kita, seringkali membai’atkan orang yang jelas-jelas belum memiliki kepahaman tentang 5 rukun Islam dan 6 rukun Iman, apalagi 5 Bab. Kita tidak menampik tudingan ini. Pasalnya, adalah lagi-lagi karena ditakut-takuti atau dihantui mati itu datangnya sewaktu-waktu, kalau tidak ber-Amir maka hidupnya saja harom apalagi menjima’nya, ibarat dikawini babi. Bila belum ber-Bai’at amalannya tidak diterima. Pemahaman ini tidak salah, tapi soal mati, jodoh, rejeki cilaka adalah murni pekerjaan Alloh. Kalau kita masuk-masuk ke pekerjaan Alloh sudah pasti berat, jatuh-jatuhnya mengukur sesuatu dengan PERASAAN….., bukan dengan dalil. Kalau mengukur sah-tidaknya amal berdasarkan dalil, maka sahnya amal itu diukur dengan sejauh mana ilmunya “sak pol-le kaweruh”, ilmu yang diliki. Jika amalan yang dimiliki baru berkisar tentang menikah lalu ia menikah maka amalan menikahnya sah, meskipun ia belum ber-Amir, ber-Bai’at. Ber-Amir, ber-Bai’at, ber-Jama’ah itu memang penting dan wajib banget bagi orang Islam atau orang iman yang sudah sampai ilmunya. Tapi, bagi orang yang belum sampai pada ilmu tentangnya maka menjadi tidak penting dan tidak wajib, bahkan kalau melakukannya malah melanggar larangan Alloh, yaitu tidak boleh mengikuti/mengerjakan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya. Agama Islam ini dikerjakan bukan atas dasar ikut-ikutan, yapi dengan dasar tahu ilmunya. Lah, ibarat kata, soal wudhu, junub, sholatnya saja belum teteh, belum benar sudah dijejal-jejalkan atau diceko-i masalah wajibnya ber-Amir, ber-Bai’at, padahal bagi calon pengantin laki-lakinya saja celananya masih pasang surut alias “isbal” ngelembreh, atau bagi calon pengantin wanitanya pakaiannya belum syar’i, malah kadang kala kerudungan kadang juga nggak. Pendek kata, hal-hal yang kecil saja mereka tidak paham kok sudah dipaksa melakukan hal-hal yang besar, yang mereka sendiri tidak mengerti dan tidak paham. Padahal, mendidik orang itu berangkat dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu sebelum ke hal-hal yang besar. Pemahaman ini lahir dari sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits Shohih Bukhori Juz 1 Hal 25, yang berbunyi:
Yang artinya: “Kamu sekalian menjadilah orang-orang yang ahli mendidik, aris, faqih, berilmu. Dan dikatakan, “Orang ahli pendidik itu adalah orang yang meramut (mendidik) manusia dimulai dengan ilmu yang kecil-kecil sebelum ilmu yang besar-besar”.

Termasuk masalah ke-imaman, ber-bai’at, ber-jama’ah, ini kan masalah besar. Bahkan, ilmu yang membicarakan hal-hal tersebut terbilang ilmu yang sudah cukup tinggi, tinggi sekali. Kelasnya orang-orang yang sudah Islam, orang-orang iman, bukan kelasnya manusia pada umumnya. Coba dipikir baik-baik, kalau ngajinya di kelas himpunan, maka materi terebut ada di himpunan Imaroh dan Kanzil Umal. Sedangkan orang yang akan dibai’atkan terkadang ngajinya baru himpunan Kitabush Sholah dan Kitabu Adab, alasannya karena mau menikah, lalu dipaksa ngaji Kitabu Imaroh dan Kanzil umal. Ini-kan seperti mata pelajaran perkuliahan disampaikan kepada anak TK (Taman Kanak-kanak)!

Jadi, masalah menggarap manusia pada umumnya atau anggota masyarakat biar bisa Islam, Iman, ber-Imam, ber-Bai’at, ber-Jama’ah itu melalui proses secara bertahap, sekali lagi secara bertahap bukan sekaligus seperti menyedu atau memasak mi instan, langsung jadi. Mestinya, pahamkan dulu masalah Islamnya, baru bai’at. Pahamkan dulu rukun imannya, baru bai’at. Oleh karena itu, ikuti sajalah cara-cara yang telah diberikan Alloh dan Rosul-Nya. Caranya, jalankan rukun Islam dulu yang bagus, baru bai’at. Penuhi rukun imannya dulu yang bagus, baru bai’at. Sebagaimana bisa kita lihat firman Alloh Ta’alaa dalam Al-Qur’an, Surat Al-Fath, No. Surat: 48, Ayat: 18, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh telah ridho terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at (berjanji setia) kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, maka Alloh mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (yaitu kemenangan kaum muslimin pada perang Khoibar)”.

Sebagaimana juga bisa kita lihat firman Alloh Ta’alaa dalam Al-Qur’an, Surat Al-Mumtahanah, No. Surat: 60, Ayat: 12, yang berbuni:
Yang artinya: “Hai Nabi (Muhammad), apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan bai’at (janji setia), bahwa mereka tiada akan menyekutukan Alloh, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka [niat berbohong, pengakuan palsu] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah bai’at mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Alloh untuk mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Berangkat dari cara-cara Alloh Ta’alaa memperlakukan hambanya secara adil, yaitu hamba-Nya akan diberi pahala dan atau dimasukkan ke surga disesuaikan dengan ilmunya sampai di mana. Terbukti sudah, bila kita bisa menangkap pengertian yang benar dari sifat Alloh, yaitu “rohman dan rohim”. Sifat rohman (pengasih) Alloh itu, Dia peruntukkan kepada semua makhluk hasil ciptaan-Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir kepada-Nya, yang muslim maupun non muslim, yang jama’ah maupun yang bukan jama’ah. Semuanya dikasih, sebagai bentuk dari tanggung jawab Alloh Ta’alaa setelah menciptakan mereka. Tidak seperti manusia, bisanya bikin anak, setelah punya anak tidak bertanggung jawab. Ada lagi, “Al-lah dia kan bukan jama’ah kita, ngapain dikasih, mubadzir, nggak ada pahalanya. Padahal orang yang berkata seperti ini tergolong aghniya’ (orang kaya). Berbeda dengan Alloh, mengapa Alloh bermurah hati? Karena, di mata Alloh dunia ini kecil, tidak ada seberat sebelah sayap nyamuk. Oleh sebab itu Dia tidak pelit untuk membagi kenikmatan dunia ini antara orang mukmin dan orang kafir. Karena Dia sudah kaya, Dia punya surga. Maka dunia itu kecil bila dibanding dengan surga. Begitu juga masalah memberi pahala dan surga. Alloh tidak pelit. Terbukti dalam firman-Nya yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat Az-Zalzalah, No. Surat: 99, Ayat: 7, yang berbunyi
Yang artinya: ”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarroh (biji sawi) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”.

Lihatlah pula cara-cara Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallaam yang begitu arif dan bijaksana dalam membimbing dan membina umatnya dari berbagai kalangan. Ada yang dari kalangan sahabat senior, junior. Ada juga yang asalnya dari kalangan A’robiy (orang Arab desa). Ada pula yang berasal dari man jabal (orang gunung). Ketika yang beliau hadapi adalah Abi Dzar, yaitu seorang sahabat senior yang kualitasnya hebat, orang paling jujur di bawah langit, di atas bumi, maka beliau berani mengatakan kepadanya, “Wa in zana wa in saroqo”, artinya sekalipun berzina dan mencuri, tetap masuk surga. Jawaban itu beliau tegaskan kepada Abi Dzar, karena beliau mendapat informasi yang menyenangkan dari Malaikat Jibril, bahwa barang siapa dari umatmu (Muhammad) meninggal dunia dia tidak menyekutukan Alloh dengan sesuatu maka dia masuk surga. Lantas Abi Dzar berkata, “Bagaimana jika dia berzina dan jika mencuri?” Beliau menjawab dengan tegas namun tetap lugas, tanpa ada sedikitpun rasa khawatir terhadap kepahaman Abi Dzar, “Ya, sekalipun dia berzina dan mencuri!” Beliau menjawab begitu, karena beliau tahu betul bahwa kualitas kepahaman Abi Dzar ada di peringkat paling atas dengan nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Maka, di dalam benak beliau tidak ada pikiran negatif atas Abi Dzar terhadap jawaban beliau seperti itu. Dan kenyataannya, sepanjang umur hidup Abi Dzar tidak pernah melanggar (tidak pernah berzina maupun mencuri). Ingin tahu, rahasianya apa? Karena, Abi Dzar fokus pada cita-citanya, yaitu ingin masuk surga tanpa singgah dulu di neraka. Abi Dzar kepingin memperoleh kenikmatan yang hakiki ketimbang kenikmatan yang bersifat semu.

Lagi, suatu saat ada orang kamso (kampung tur deso), orang udik kencing dengan berdiri di dalam masjid berlantai tanah, tiba-tiba Umar bin Khothob hendak menggertaknya tapi Rosululloh melarangnya, “Biarkan saja dia kencing sampai tuntas, gampang nanti kamu ambil air satu timba kemudian kamu siramkan ke bekas kencingnya, sebab kalau kamu gertak bisa-bisa kencingnya malah muncrat ke mana-mana”. Mari, kisah-kisah dari pengalaman Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam meramut dan menggarap umatnya kita renungkan baik-baik dan marilah kita mendorong kemajuan untuk meningkatkan kualitas kepahaman masyarakat ramutan kita dengan penuh perasaan senang, gembira, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan ada cap “tidak paham”. Mari kita bantu orang lain untuk maju dengan cara memberikan pemahaman yang benar yang dapat menyentuh hati sehingga bisa sadar dan ta’at, tidak dengan menghina atau memberi ancaman yang dapat membuatnya takut, bukan ta’at.

Contoh berikutnya; Ada seorang laki-laki yang telah melakukan pelanggaran dengan seorang perempuan, hanya saja ia tidak melakukan pelanggaran had/zina. Lalu ia mendatangi Nabi, terus ia curhat ke nabi, ia ceritakan semua perbuatannya kepada Nabi. Setelah Rosululloh mendengarkan semua pengakuannya, ternyata Rosululloh tidak marah padanya? Rosululloh tidak mencapnya “Tidak paham”. Rosululloh tidak menganggapnya “dalbo”? Mengapa? Karena beliau tahu bahwa orang laki-laki yang ada dihadapannya itu sedang terbebani oleh banyak masalah. Ia terbebani oleh perasaan bersalah, beban malu, beban mental, beban dosa, beban kafaroh. Rosululloh tidak mau menambahi beban lagi padanya dengan cemoohan, makian, celaan, ancaman. Rosululloh tahu betul bahwa orang laki-laki tersebut datang membutuhkan solusi, ampunan dosa, bukan untuk dipermalukan, dijatuhkan, atau pun direndahkan. Lantas Alloh memberi tahu Rosululloh tentang solusinya, yaitu agar orang laki-laki tersebut mengerjakan sholat. Terus orang laki-laki tersebut bertanya kepada Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam,”Apakah solusi ini hanya untuk saya saja?” “Tidak, tidak hanya untuk kamu, tapi untuk siapa pun yang melakukan seperti apa yang telah kamu lakukan”. Demikian jawab Rosul, tanpa ada rasa kekhawatiran, “wah, jangan-jangan nanti umat saya yang lain pada ngikut semua gara-gara jawaban saya tadi?” Di dalam otak Rosul tidak ada pikiran seburuk itu. Beliau selalu positif thingking. Itulah baiknya Rosululloh sebagai pembawa rohmat. Beliau tidak menciptakan suasana yang menakutkan, sekalipun menghadapi umatnya yang dhzolimu linafsih. Beliau tetap menghadapinya dengan suasana yang bersahabat, penuh ma’af dan berlapang dada.

KH. Aceng Karimulloh, BE., SE. Beliau adalah seorang muballigh, juga sebagai Kyai Kota Jakarta Selatan -2, dan ulama’ LDII. Beliau sudah sangat termasyhur sebagai ulama’ yang menyejukkan hati. Tapi, bukan berarti semua muballigh bersepakat terhadap cara-cara beliau dalam “membangun mental agama anggota mayarakat”. Beliau memakai istilah,”membangun mental dan moral anggota masyarakat” ketika beliau hendak mengatakan, “meramut dan membina jama’ah”. Pastinya, ada saja muballigh yang sezaman dengan beliau menganggap bahwa beliau itu terlalu lembek “kurang greget”, hentakkannya kurang “greng”, kurang mak nyoos dalam membimbing anggota masyarakat. Yah, komentar muballigh seperti itu sah-sah saja, dikarenakan sudut pandangnya masih berbeda, kaca mata pandangnya yang dipakai juga berbeda. Itulah seninya agama Islam “inna sa’yakum lasatta”, bahwa perbedaan itu harus ada, tidak mungkin akan sama semua. Ibarat, cat yang berbeda-beda warnanya tapi di tangan pelukis ahli akan menjadi lukisan yang indah bernilai seni tinggi dan punyai nilai jual yang tinggi pula. Itulah indahnya kehidupan ini bila kita nilai secara objektif. Bagaikan telor satu sarang yang sama warnanya, tapi setelah menetas menjadi ayam ternyata memiliki warna yang berbeda-beda. Meskipun sama-sama muballighnya, tapi memiliki cara yang berbeda-beda dalam membangun mental dan moral anggota masyarakat yang dibimbingnya. Lain lubuk lain ikan, lain ladang lain belalang, lain koki lain pula cara memasaknya. Pribahasa ini sangat cocok bila untuk mendasari adanya perbedaan yang dimiliki oleh setiap muballigh. Namun, sering kali kita merasa sakit hati, menjauhi orang yang berbeda dengan kita, baik dalam hal memandang, prinsip, pola pikir, cara menyelesaikan masalah. Terkadang kita kurang sedikit bersabar dalam menghadapi dan menunggu berpedaan itu sampai dengan mencapai kesamaan. Perlu pikiran jernih, jiwa besar, berlapang dada dalam setiap kali kita menghadapi perbedaan, biar perbedaan itu menjadi rohmat. Pada suatu saat dalam sebuah pertemuan beliau mengisi acara nasehat agama. Dalam acara tersebut ada yang berkirim SMS kepada beliau, kalimatnya berbunyi, ”Pak Kyai, saya mau curhat nih, suami saya berkata kepada saya, “Dik, kebahagiaan kita bukan di dunia ini tempatnya, tapi kelak di surga”. Bagai mana ini Pak? Saya kan sebagai manusia biasa kepingin juga sedikit ikut menikmati bahagia hidup di dunia ini. Lantas beliau membaca sebuah kalimat yang tercantum di dalam Al-Qur’an, “Robbnaa Aatinaa Fid-dunyaa Hasanah”. Bukankah kita sering berdo’a dengan mengucapkan kalimat tersebut? Berarti kita sangat…….sangat boleh mencari dan menikmati kebahagiaan di dunia ini, bahkan Rosululloh bersabda, “Orang iman yang paling besar cita-citanya adalah orang iman yang bercita-cita sukses dunianya dan sukses pula akherotnya”. Sederhana memang, jawaban yang beliau berikan, tapi cukup bisa membuat orang banyak tersadarkan, dan berdecak kagum.

Dalam dunia dakwah, seorang muballigh mempunyai peran yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat yang dimimbingnya, sekalipun muballigh itu tidak punya kekuatan hukum yang mengikat (ghoiru mulzimah) sebagaimana Bapak Hakim dan Pak Jaksa. Dalam konteks ini, ststus muballigh sebagai guru penyampai ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada masyarakat luas, termasuk di dalamnya menjadi imam dan khothib pada hari Jum’at yang mempunyai pengaruh yang tidak bisa dibilang kecil.

Tulisan ini menjadi sangat penting, setidaknya karena dua hal, pertama, dari sisi tema, tulisan ini dapat dianggap sebagai landasan teori dan alat bantu untuk mengukur berhasil tidaknya seorang muballigh membina anggota masyarakat untuk memiliki kepahaman agama yang dilandasi dengan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits yang disampaikan oleh muballigh tersebut. Membimbing anggota masyarakat sering dianggap tidak berhasil jika tidak sampai menjadi orang jama’ah, ber-amir dan ber-bai’at dan ta’at. Pemahaman seperti itu sudah benar, tapi lebih bijaksana jika pemahaman yang seperti itu lebih diperlunak lagi, yaitu sak pole kaweruh, artinya untuk menentukan seseorang amalnya diterima atau tidak, sampai dengan masuk surga atau tidak, diukur dengan sejauh mana ilmu yang telah ia miliki dan ia amalkan. Itulah alasan mengapa surga dibuat bertingkat. Dari sini kita bisa lihat bahwa seseorang masuk surga di tingkat berapa, ditentukan oleh amal perbuatannya. Contoh, ada seseorang yang baru ikut mengaji Kitabu Sholah “Bab Sholat” lengkap mulai dari syarat sahnya sholat sampai dengan rukun-rukun sholat, belumlah sampai waktunya untuk mengerjakan sholat tiba-tiba ia meninggal dunia, padahal dia belum mengangkat seorang Amir, belum bai’at, belum disebut orang jama’ah, dan belum pernah dipanggil dengan panggilan sedulur jama’ah. Dia baru mengaji, belum mengamal, sekalipun begitu orang tersebut mendapat pahala dan masuk surga. Oleh karena itu surga dibuat bertingkat sesuai derajat yang diberikan Alloh kepadanya. Bahkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam menempatkan pada derajat yang tinggi kepada orang yang mati dalam rangka berangkat ke suatu tempat untuk menuntut ilmu agama, yaitu beliau menghukumi orang tersebut mati sahid, ia akan dimudahkan jalannya menuju surga. Padahal orang tersebut belum sampai tujuan tempat mengajinya, belum sempat mengaji dan belum sempat mengamalkan apa yang dikaji. Itulah hebatnya Rosululloh, beliau di samping sebagai seorang nabi juga sebagaiseorang muballigh. Beliau pandai sekali membuat hati umatnya menjadi lego, adem (bersuka cita). Beliau pandai membuat suasana menjadi sejuk. Kedua, tulisan ini dapat menjelaskan masalah fiqhiyyah dengan dua pendekatan sekaligus, pendekatan akademik yang bersifat teoritis dan pendekatan praktis yang bersifat pengalaman-pengalaman nyata selama 20 tahun berpindah-pindah tempat privat maupun tugas, mulai dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu desa ke desa lain, bahkan dari satu daerah ke daerah lain dengan menghadapi berbagai macam karakter dan kemampuan anggota masyarakat yang dibimbing, dengan waktu tugas yang jauh melampaui batas rolling yang telah ditetapkan. Pemikiran fikih dalam tulisan ini, saya lengkapi dengan contoh kasus yang bersifat kongkrit, faktual, dan up to date.

Ma’af, saya menulis demikian bukan maksud saya untuk melecehkan, merusak pemahaman atau kepahaman yang sudah ada dan berjalan. Tidak juga untuk memancing kontroversi ataupun menjelekkan teman muballigh yang mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan saya. Tapi, untuk mengisi dan melengkapi yang belum ada dan tak terbiasa dipahami oleh kebanyakan muballigh. Saya sangat menghargai dan menghormati perbedaan, karena di mata saya perbedaan itu tampak indah asalkan masih di dalam porsinya. Seperti penjelasan saya di atas, bila diambil kesimpulannya yang benar, maka semuanya itu diperuntukkan hanya bagi anggota masyarakat yang masih dalam rangka dibimbing dan dibina, alias masih dalam ramutan yang belum menyentuh hukum tentang wajibnya ber-Amir, ber-Bai’at, dan ber-Jama’ah. Oleh karena itu, janganlah Saudara sekali-kali menyalah artikannya atau salah dalam menyimpulkannya…! Atau salah dalam menggaris bawahinya, sebab dengan demikian sudah pasti Saudara akan salah pula dalam memahaminya.

Kesimpulannya adalah muballigh yang hebat itu bukanlah muballigh yang tegas atau yang keras dalam membimbing anggota masyarakat sehingga ia berhasil mempengaruhi anggota masyarakat tersebut menjadi insyaf dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bukan juga muballigh yang lunak atau lembek dalam membina mental dan spiritual anggota masyarakat sehingga dia berhasil mempengaruhi anggota masyarakat tersebut menjadi insyaf. Sebab, yang namanya hidayah itu milik Alloh. Dan Alloh memberikan hidayah-Nya itu hanya kepada orang yang Dia kehendaki. Adakalanya hidayahnya itu Dia berikan secepat mungkin. Adakalanya tidak terlalu cepat, dan tidak juga terlalu lambat alias sedang-sedang saja. Hanya menurut perasaan kita saja cepat atau lambatnya seseorang yang kita garap itu mendapat hidayah dari Alloh.

Sebenarnya, soal cepat atau lambatnya seseorang mendapat hidayah itu sudah ada ketentuan waktunya dari Alloh, sesuai dengan kehendak-Nya, seperti halnya sebuah perjalanan yang hendak kita tempuh, maka jarak tempuhnya sudah ditentukan, berapa meterkah atau berapa kilometerkah atau berapa jam-kah dari tempat kita berangkat sampai dengan tempat yang hendak kita tuju? Katakanlah dari Jakarta ke Jokjakarta jaraknya 450 Km. Jarak tempuh ini bila kita lihat dari segi Km-nya, baik kita tempuh dengan ngesot (jalan pantat), berjalan kaki biasa, lari atau naik kendaraan, bahkan naik pesawat terbang sekalipun, tetap sama. Sedangkan kalau kita lihat dari segi waktu, dan perasaan kita, pasti ada perbedaannya. Jarak sejauh itu jika ditempuh dengan ngesot, berjalan kaki atau lari pasti akan terasa sangat jauh dan akan memakan waktu yang lama sekali. Berbeda kalau ditempuh dengan naik kendaraan, maka akan terasa sedikit agak cepat. Apalagi jika ditempuh dengan naik pesawat terbang akan terasa sangat dekat dan waktunya pun cepat, bahkan singkat sekali. Itu-lah namanya perasaan dapat mengaburkan dari yang sesungguhnya. Oleh karena itu urusan agama ini jangan dinilai atau diukur pakai perasaan, sebab bisa keliru. Tapi harus dengan memakai dalil yang haq dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Muballigh yang hebat itu adalah muballigh yang paham terhadap fathonah dan bithonah. Dia tahu kapan ia harus berfathonah, dan kapan ia harus berbithonah. Pendek kata, muballigh yang berakhlaqul karimah. Dia tahu, kapan saatnya ia harus berbicara dan kapan saatnya ia harus diam. Dia tahu, mana yang harus ia dahulukan karena mendesak dan penting, serta mana yang harus ia kemudiankan sebab tidak mendesak dan tidak penting. Dia mengerti dan paham masalah halal dan harom, ia kerjakan yang halal dan ia tinggalkan yang harom. Dia tahu dan paham mana yang pahala dan mana yang dosa, ia kerjakan yang berpahala, dan ia tinggalkan yang mengakibatkan berdosa. Dia mengerti dan paham terhadap orang yang mahrom dan yang bukan mahrom sehingga ia bisa menyikapinya dengan baik. Dia paham masalah surga dan neraka, akhirnya dia bisa menjauhi perbuatan yang dapat mengakibatkan masuk ke dalam neraka, dan senang mengerjakan amalan yang sekiranya bisa memasukkan padanya ke dalam surga. Dia punya prinsip “sekalipun kecil dan sulit serta jauh ambil kalau itu bisa memasukkan ke dalam surga, sebaliknya sekalipun itu besar serta mudah dan dekat jangan ambil bila hanya akan memasukkan ke dalam neraka”.

Jika, apa yang saya utarakan dalam tulisan di atas adalah merupakan suatu pemahaman yang keliru, tidak benar maka sesungguhnya itu adalah murni dari keterbatasan ilmu pengetahuan dan pemahaman saya tentang ilmu agama. Namun bukan berarti saya sudah terpengaruh oleh paham salafi yang keliru, tapi saya adalah ustadz dari ulama’ salafi asli “Ahlul Jama’ah” yang berkomitmen dalam penegakan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yang bermanhaj salafush sholih, yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ / ijtihad dan Qias. Bila Saudara tidak dapat mencernak atau tidak dapat memahami apa yang saya maksudkan dalam tulisan saya di atas maka cobalah tulisan di atas tersebut Saudara baca sekali lagi atau bahkan bila perlu Saudara baca secara berulang-ulang. Insyaa Alloh, Saudara dapat menemukan rohmat di dalamnya. Jika ternyata, apa yang saya tulis itu ternyata memang keliru, maka hendaknya Saudara jangan men-save (menyimpan) nya ke dalam pikiran Saudara, apalagi di dalam hati, sebab jika disave atau dimasukkan ke dalam hati, nanti hati Saudara bisa menjadi kotak sampah masalah, akibatnya rugi sendiri, dampaknya dapat menimbulkan keragu-raguan bagi kepahaman yang selama ini sudah diyakini kebenarannya. Sebaliknya, jika apa yang saya ungkapkan itu adalah sesuatu yang benar, maka saya sangat merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa Alloh Ta’alaa akan berpihak kepada saya. Pada suatu saat Alloh Ta’alaa akan membantu untuk merobah perbedaan cara memandang di antara kita, menjadi suatu kesamaan sudut pandang di dalam melihat suatu kebenaran. Mengapa tidak? Renungkanlah kalimat berikut ini, “Alloh mampu menciptakan langit tanpa tiang. Alloh mampu menurunkan hujan sebagai sumber kehidupan. Alloh mampu menciptakan bumi sebagai tempat berpijak yang sangat kokoh. Apalagi cuma merobah pola pikir, pemahaman ataupun kepahaman yang tidak benar menjadi benar. Dan akhirnya, Alloh Ta’alaa memberi ilham taqwa kepada kita untuk mengikuti sudut pandang yang lebih benar dan menguntungkan. Oleh karenanya, bila ada sesuatu yang salah dalam tulisan saya, saya sangat berlapang dada, ridho dan ikhlas menerima kritikan yang bersifat kontsruktif (membangun) dan masukan, saran atau pun pendapat untuk merubah saya agar bisa lebih maju. Sebelumnya saya syukuri dengan ucapan, “Al-hamdulillaahi jazaakumulloohu khoiroo”. Terutama kepada saudara Dani Fatqurrohman.

NB: Ini, sekedar untuk cantolan kepahaman tentang perbedaan sudut pandang. Pada suatu ketika ada seorang murid sekolah dasar yang nyeletuk “dasar goblok” di depan orang tuanya. Kemudian, orangtuanya bertanya, “Ada apa to nak, kok kamu bicara begitu, ndak baik? Lantas anaknya bercerita, “Maasak, tadi di sekolah Bu Guru tanya ke murid-muridnya ‘Satu tambah satu, berapa anak-anak?’ Apa itu bukan guru “goblok” namanya? Wong, satu tambah satu saja nggak ngerti, pakek nanya! Guru, apaan tuh? Pokoknya, aku nggak mau sekolah, titik! Kata anaknya. Akhirnya, dia sampai dengan menikah tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Terus, kalau tidak sekolah, mau jadi apa? Mau nunggu warisan lumbung kosong? Mau jadi muballigh? Bila tidak pinter, tidak cerdas mau menerangkan apa? Apa kata dunia? Padahal, Ibu Guru bertanya demikian, bermaksud untuk menyesuaikan kemampuan akal pikiran anak-anak didiknya dengan materi pelajaran, sehingga tidak ada kesan, bahwa Bu Guru kok mengukur kemampuan anak didiknya dengan kemampuan dirinya sebagai guru. Yah, itulah hidup. Terkadang, apa yang menurut kita baik, belum tentu baik juga menurut orang lain. Oleh karena itu, berpkirlah sebelum berkata atau berbuat sesuatu untuk orang lain. Terkadang orang lain yang menganggap apa yang telah kita sampaikan itu tidak baik, karena ia tidak dapat mencernak apa yang telah kita sampaikan itu. Jadi kita ma’afkan dan kita maklumi saja…!
[S.Baiturrahman]
Share on :
“MENSYUKURI NIKMAT KECIL SEBELUM NIKMAT BESAR” (dari sudut pandang yang berbeda)
“MENSYUKURI NIKMAT KECIL SEBELUM NIKMAT BESAR” (dari sudut pandang yang berbeda)
Reviewed by Unknown
Published :
Rating : 4.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar