Diberdayakan oleh Blogger.

Rujukan Kitab Pengajian Kita

Kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang menjadi rujukan majlis ta'lim kita ini di antaranya adalah tafsir Jalalain, tafsir Jamal, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Ibnu Abbas, tafsir Baidhowi, tafsir At- Thobari, tafsir Al-Furqon dari Departemen Agama, ...dll. Untuk Hadits Shohih Bukhori sebagai kitab rujukannya, yaitu: Kitab Fathul Baari, Irsyadus Saari. Hadits Shohih Muslim sebagai kitab rujukannya, yaitu: Kitab Syarah Nawawi. Hadits Sunan Abu Dawud sebagai kitab rujukannya, yaitu: Kitab Aunul Ma’bud. Hadits Sunan Nasa’i sebagai kitab rujukannya, yaitu: Kitab Syarah Jalaluddin As-Suyuthi dan Syarah Hasyiyatus Sindi. Hadits Sunan Tirmidzi sebagai kitab rujukannya, yaitu: Kitab Tuhfathul Ahwadzi. Hadits Sunan Ibnu Majah sebagai kitab rujukannya, yaitu: Kitab Ibnu Majah dengan Ta’liq Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi. Hadits Muwatho’ sebagai kitab rujukannya, yaitu: Kitab Aujazul Muzalik Ila Muwatho’. Berdasar pada sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Abu Daud, yang berbunyi:
Yang artinya: “Barang siapa yang berkata (membaca ataupun menafsirkan) dalam kitab Alloh Yang Maha Mulia dan Maha Agung (Al-Qur’an) dengan rasio/pemikirannya sendiri lalu benar, maka itu sungguh salah”.
Dapat juga dilihat di dalam hadits Tirmidzi, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Yang artinya: “Barang siapa yang berkata dalam Al-Qur’an dengan tanpa ilmu maka hendaklah dia bertempat pada tempat duduknya dari api (mak: masuk neraka).
Ini merupakan konsekuensi logis karena kita tidak boleh mendahulukan ro’yi / akal pikiran kita sendiri dari pada nash / dalil syar’i. Sehingga kita tidak salah memahami dan menyimpulkan sebuah dalil yang akhirnya mendahulukan dalil yang lemah dari dalil yang lebih kuat. Maka, tidak ada ijtihad dalam urusan yang sudah ada dalilnya kecuali hanya memilih dari dalil-dalil yang sudah ada yang sifatnya pilihan. Sedangkan dalil-dalil yang disepakati dalam Islam ini adalah: Al-Qur’an dan Al-Hadits serta Ijmak dan Qias, menurut pemahaman para sahabat dan tabi’in serta tabi’ut-tabi’in karena mereka paling tahu akan maksud dari nash-nash tersebut, dan hal ini akan menutup pintu agar akal pikiran manusia tidak bermain-main dan seenaknya sendiri dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i.

Rusaknya pemikiran orang yang mendahulukan akal pikiran atas mengalahkan dalil syar’i. Perlu kita pahami dan mengerti, bahwa sumber dari seluruh bencana yang ada yaitu didahulukannya akal atas mengalahkan syari’at dan didahulukannya hawa nafsu atas mengalahkan dalil syar’i. Sedangkan pendahuluan akal pikiran manusia alias ro’yi atas mengalahkan dalil syar'i adalah kaedah pokok dari sekularisme, yang sekarang tengah melanda hampir seluruh pelosok dunia ini tidak terkecuali Indonesia. Dan dari itu, muncullah paham demokrasi Islam, diberlakukannya undang-undang buatan manusia untuk menghukumi umat beragama, tidak terkecuali umat Islam dalam kesalahan urusan keagamaan, dipisahkannya urusan politik yang baik dari Islam dan kerancuan-kerancuan pemikiran yang lain.

Mestinya Undang-undang buatan manusia itu atau hukum positif diberlakukan untuk menghukumi setiap warga negara yang melanggar ke Tata Negaraan atau peraturan pemerintah yang sah. Sedangkan bagi umat beragama yang melanggar peraturan agamanya, hendaknya dihukumi sesuai dengan hukum yang tercantum dalam kitab sucinya masing-masing. Kalau umat agama Islam, dihukumi sesuai dengan apa yang telah Alloh tetapkan dalam Al-Qur'an dan Al-hadits, menurut pengetahuan golongan Islam masing-masing yang dijadikan acuan hukum oleh pimpinannya. Intinya, adalah bagi setiap warga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari agama apapun yang melanggar peraturan pemerintah yang sah, maka hukum yang ditegakkan adalah UUD '45 dan KUHP. Sebagai umat beragama, keyakinan, kepercayaan yang melanggar peraturan agama, keyakinan, kepercayaannya, dihukumi sesuai dengan kitab, keyakinan, kepercayaannya masing-masing. Begitu juga hendaknya adat istiadat. Masing-masing ada pada posisinya. Tidak saling tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Antara Presiden serta penyelenggara Negara dan para pemimpin agama, tokoh agama, tokoh adat dapat bersinergi, bekerja sama yang baik. Apa jadinya, bila di dalam rumah yang dihuni seluruh perabotan dan atau seisi ruamah saling tumpang tindih, maka dampak negatifnya adalah disamping tidak sedap dipandang mata, juga akan terjadi sesuatu benturan yang dapat mengakibatkan kerusakan.

Insyaa Alloh paham ya? Diharapkan dengan pembahasan tersebut dapat dibedakan antara Pemerintahan Negara “Presiden” dan Pemeritah dalam Islam “Amir atau Imam”, begitu pula antara Ro’in dan Ketua Umum dalam sebuah organisasi sehingga tidak mencampur adukkan antara Pemerintahan Negara dengan Pemerintahan dalam Agama, maupun kepengurusan dalam organisasi yang sering mengakibatkan meruncingnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Ini sekaligus menjadi harapan kami selaku salah satu komponen penyampai agama Islam, agar istilah-istilah seperti Ulil Amri / Amir / Imam / Sulthon / Ro'in terus menerus didengung-dengungkan di telinga generasi penerus umat Islam. Sehingga kekhawatiran Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam tentang rusaknya umatku bila dipegang oleh pemuda yang bodoh tidak menjadi kenyataan. Insyaa Alloh, mudah-mudahan penjelasan yang telah kami paparkan ini dapat menjadi obat bagi orang yang sedang ragu. Amiin.

Konsep Islam mengisyaratkan bahwa pemimpin dalam Islam atau Imam yang dipilih harus dapat menciptakan suasana keagamaan yang baik, dalam arti memberi kesempatan kepada ru'yah, jama’ahnya untuk melaksanakan syari’at agama Islam yang benar, memberikan motivasi kepada ru'yah, jama’ah (komunitas) yang dipimpinnya agar mau menuntut ilmu agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga suatu saat dapat menggantikan posisi generasi tua. Itulah prinsip kaderisasi yang diajarkan dalam agama Islam menurut Al-Qur’an dan Hadits.

Bahkan seorang Imam menurut konsep Islam harus memiliki komitmen dalam upaya mengajak umatnya untuk taat kepada Alloh dan Rosul, berdasar Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi serta taat kepada pemerintah yang sah berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dan melaksanakan amar ma’ruuf dan nahii munkar secara arif dan bijaksana sebagai mana firman-Nya dalam Al-Qur’an, Surat An-Nahl, No. Surat: 16, Ayat: 125, yang berbunyi:
Yang artinya: “Ajaklah manusia kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat (pelajaran) yang baik”.

Dalam arti bebas, berdakwalah mengajak manusia ke jalan Tuhanmu dengan cara memberi pengertian dan nasehat / pelajaran yang baik. Dalam kaitan itu, Al-Qur’an dan Al-Hadits sudah mengindikasikan tentang syarat-syarat seorang Imam atau pemimpin yang diharapkan dapat menjadi teladan bagi warga mayarakat yang dipimpinya.

Lebih jauh lagi Islam mengajarkan bahwa upaya menegakkan agama, memperjuangkan kebenaran, memperjuangkan cita-cita luhur, hendaknya dilakukan dengan organisasi yang baik, sehat dan rapi, serta kokoh, sebab Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa mencintai mereka yang melakukannya dengan barisan yang rapi dan kokoh (organisasi). Dasarnya adalah firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat Ash-Shof, No. Surat: 61, Ayat: 4, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa status keimaman yang ada pada agama Islam hanya sebagai amanat dari Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa, yang harus dipertanggung-jawabkan kelak di kemudian hari, sejauh mana ia dapat membawa ru'yah, jama’ah yang dipimpinya kejalan yang diridhoi Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa, sejauh mana ia dapat menjadi teladan yang baik bagi ru'yah, jama’ah yang dipimpinya. Hal ini mengandung makna bahwa seorang Imam harus dapat membimbing dan mengingatkan ru'yah, jama’ah yang dipimpinnya agar tetap bersatu padu dalam berjuang menuju cita-cita mulia dan keridhoan Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa, yaitu semata-mata hanya ingin menjadi orang iman dan beramal sholih serta dapat beramal ibadah hingga menjadi hamba Alloh Ta'alaa yang bahagia di dunia dan dapat masuk surga Alloh dan terhindar dari neraka Alloh. Sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membuat negara dalam negara. Layaknya seorang Imam dalam sholat berjama’ah yang baik harus mengingatkan ma’mumnya sebelum sholat di mulai, misalnya, dengan menyuruh jama’ahnya untuk meluruskan dan merapatkan barisan, dan kalau perlu dianjurkan pula untuk mengingatkan siapa yang seharusnya berdiri dalam barisan di belakangnya, termasuk juga mengingatkan hal-hal yang dapat membathalkan sholat.

Banyak orang menginginkan orang lain atau Negara Indonesia berubah, termasuk ingin menjadikannya sebagai Negara Islam, tapi ternyata yang diinginkannya tidak kunjung terwujud bahkan dalam waktu yang nyaris bersamaan, ternyata diri dan keluarganya “babak belur”, di keluarga keras kepala, di kantor jadi koruptor, di masyarakat tidak bermanfaat, di agama berwajah dua. Itu namanya keinginan yang muluk. Karena harapan, keinginan, cita-cita tersebut sangat bertentangan dengan firman Alloh yang tersurat di dalam Al-Qur’an, Surat At-Taghoobun, No. surat: 64, Ayat: 2, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dia-lah yang telah menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antar kamu ada pula yang mukmin”.

Jangankan mengubah Indonesia menjadi sebuah Negara Islam, mengubah diri, isteri, anak, keluarganya biar islami saja tidak mampu. Terus terang banyak orang yang menginginkan situasi Negara Indonesia ini berubah, tapi mengapa mengubah sikap diri sendiri, isteri, anak saja tidak sanggup. Jawabnya adalah nyaris kita tidak punya waktu atau melupakan mengoreksi diri untuk bersungguh-sungguh mengubah diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mengubah orang lain atau Negara Indonesia. Tentu saja jawaban ini tidak mutlak benar. Tapi, jawaban ini perlu untuk diingat baik-baik, catat!

Kalau kita sebagai pemimpin negara, jangan terlalu sering menyalahkan rakyat termasuk mencurigai golongan keagamaan tertentu akan mendirikan Negara Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan lebih baik para penyelenggara negara gigih memperbaiki diri sehingga menjadi teladan. Insya Alloh, tanpa banyak berbicara di negara ini akan banyak perubahan dan makin cepat terasa. "Ikan asin sepat ikan asin gabus, makin cepat makin bagus". Jika berani memperbaiki diri, itu lebih baik daripada banyak berkata tapi tidak punya keberanian untuk menjadi teladan.

Mudah-mudahan, kita bisa menjadi orang yang sadar bahwa kesuksesan itu bisa diraih diawali dari keberanian melihat kekurangan diri sendiri lalu mengubahnya menjadi teladan. Di sini akan kami analogikan; Negara Islam itu ibarat seorang wanita cantik, setiap orang laki-laki yang normal pasti merasa senang melihatnya dan ingin memilikinya, tapi adakah orang laki-laki yang mau menjadi wanita cantik tersebut? Jawabnya tentu “Tidak ada”. Yang paling enak adalah orang yang memiliki wanita cantik itu, dengan demikian akan mendapatkan jaminan kenikmatan dan kepuasan biologis, bukan malah ingin menjadi wanita cantik, sebab kalau menjadi wanita cantik akan repot berdandan, banyak modal dan mahal untuk menghias diri hanya sekedar melayani birahi lelaki yang memiliki. Jadi…, negara Indonesia ini tidak perlu repot-repot ingin berubah atau dirubah menjadi negara Islam, yang penting kita sebagai warga Negara Indonesia ini memiliki sebuah Negara yang memberikan jaminan keamanan dan kebebasan dalam menjalankan syari’at agama Islam, tidak harus menjadi Negara Islam.

Jika kita sebagai 'ulama, jangan terlalu banyak menbicarakan dalil, memang membicarakan dalil itu suatu kebaikan, tapi bisa menjadi bumerang ketika prilaku kita tidak sesuai dengan dalil yang kita bicarakan. Jauh lebih utama orang yang tidak berbicara dalil tapi perbuatannya sesuai dengan dalil yang telah ia pahami, kemudian berkarya yang positif untuk mengisi kemerdekaan. Walaupun tidak dikatakan, pasti diri dan perbuatannya automatis sudah menjadi bukti dalil tersebut. Namun demikian, agar amal perbuatan kita sesuai dengan dalil maka prekwensi mengaji Al-Qur'an dan Al-Hadits lebih kita tingkatkan lagi, sebab makin banyak dalil yang telah kita pahami maka peluang dan ruang untuk kita beramal akan semakin lebih luas juga. Sekali lagi, jangan terlalu banyak bicara, apalagi mengumbar janji! Janji pepesan kosong? Umat mau makan apa? Lebih baik bersungguh-sungguh memperbaiki diri. Jadikan perkataan makin santun, lembut, halus, sikap semakin mulia, etos kerja makin serius, fokus, ibadah kian tangguh. Ini jauh akan lebih dilihat dan dihargai orang. Dan Alloh Yang Maha Bijaksana mensyukurinya. Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an, Surat Az-Zukhruuf, No. Surat: 43, Ayat: 72, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu, sebab apa-apa yang dahulu pernah kamu kerjakan”.

Akan tetapi sebagai 'Ulama', apalagi sebagai pemimpin jangan hanya diam saja, dengan berdalih "Diam adalah emas"! Memang ini tidak salah, akan tetapi orang lain bisa salah mengartikannya. Orang lain akan mengartikannya macam-macam. Orang pintar adalah orang yang mengetahui kapan saatnya harus berbicara. Ini artinya kita harus pandai memilih kapan kita harus berbicara dan diam. Maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikatakan B.I.C.A.R.A? Bicara, adalah kependekan dari Berani: karena mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup memadai. Inovator: karena ingin perubahan yang lebih baik dan benar. Cakrawala: karena mempunyai cakrawala pandang yang luas jauh kedepan. Argumentasi: karena mempunyai argumen yang lebih dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan keshohihannya. Realistis: karena mempunyai bukti yang dapat diterima oleh akal sehat, fakta, aktual, autentik. Agama: karena mempunyai kefahaman agama yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu negatif bahkan berpengaruh positif.

Sesungguhnya diam itu sangat bermacam-macam penyebab dan dampaknya. Ada yang dengan diam jadi emas, tapi ada juga yang dengan diam malah menjadi masalah. Semua itu tergantung bagaimana niat, cara, situasi, dan kondisi pada diri dan lingkungannya. Berikut ini bisa kita lihat macam-macam diam;
1. Diam bodoh yaitu diam karena ia tidak mengetahui apa yang harus ia bicarakan. Diam seperti ini karena kurangnya ilmu pengetahuan dan ketidakmengertiannya, atau lemahnya pemahaman serta alasan ketidakmampuan lainnya. Namun diam seperti ini akan lebih baik dan aman, daripada memaksakan diri bicara sok tahu alias asbun (asal bunyi / asal njeplak / angger mengo).

2. Diam malas, diam yang seperti ini buruk sekali, karena ia diam pada sa’at orang lain sedang memerlukan pembicaraannya, ia enggan untuk berbicara karena ia sedang merasa tidak mood, tidak berselera, lagi malas.

3. Diam sombong, inipun sangat negatif karena ia menganggap orang lain yang mengajaknya berbicara tidak selevel, perlu, penting.

4. Diam berkhianat, ini sangat berbahaya karena ia sedang menyusun siasat jahat untuk mencelakakan orang lain. Diam pada sa’at sedang dibutuhkan kesaksiannya untuk menyelamatkan orang baik, benar adalah diam keji.

5. Diam marah, diam yang seperti ini ada baiknya ada juga buruknya. Baiknya adalah terjaga dari perkataan yang tidak santun yang akan memperkeruh keadaan. Buruknya adalah ia berniat untuk menunjukkan kemurkaan, kebencian, emosionalnya bukan untuk mencari solusi. Sehingga dengan diam yang seperti itu kadang malah menambah masalah.

6. Diam utama (diam aktif), adalah diam hasil merenung dan berpikir tentang sebab dan akibat apabila ia berbicara akan menimbulkan kemudhorotan yang lebih besar ketimbang kemanfa’atannya. Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam memberikan tolok ukur tentang orang Islam yang bagus. Di dalam Hadits Ibnu Majah Juz 2 hal 1316, dari Abi Huroiroh, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Termasuk bagusnya Islam seseorang adalah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya”.

Keutamaan Diam Aktif, adalah:
- Dapat menghemat kata-kata yang berpeluang menimbulkan masalah.

- Kemungkinan tipis tergelincir / keseleo lidah yang dapat menjadi dosa.

- Dapat mengokohkan hati tetap tidak riya’, sum’ah, ujub, takabur, congkak.

- Menjadi pendengar dan pemerhati yang baik sehingga setiap kali menghadapi persoalan pemahamannya mendalam maka dalam pengambilan keputusanpun jauh lebih bijak dan arif.

- Dapat menimbulkan kewibawaan tersendiri. Tanpa di sadari dari sikap dan penampilan kita orang lain akan menjadi lebih segan untuk mempermainkan atau meremehkan.

- Yang tidak kalah pentingnya adalah hatinya bercahaya terang sehingga dapat memberikan ide dan gagasan yang cemerlang tampak dari ramah wajahnya, cakap budi bahasanya, santun tutur katanya, sopan lagak dan gayanya.

Diam aktif adalah bukan bisu akan tetapi upaya menahan diri dari; perkataan dusta, sia-sia, keluh-kesah, pamer, ujub, berlebihan, melaknat, menhujat, menyakitkan hati, sok tahu dan sok pintar, komentar spontan dan cletukan alias nyeruwing atau saur manuk, dll.

Mudah-mudahan kita menjadi terbiasa berkata benar atau diam. Semoga Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa ridho membimbing lisan kita mengucapkan kalimat thoyyibah: “Laa Ilaaha illallooh” saat ruh kita akan dijemput ajal, sebagai puncak akhir perkataan yang akan menghantarkan kita kesurga.
[Subandi Baiturrahman]
Share on :
Rujukan Kitab Pengajian Kita
Rujukan Kitab Pengajian Kita
Reviewed by Unknown
Published :
Rating : 4.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar