Diberdayakan oleh Blogger.

TIGA KOMPONEN POKOK SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MENCAPAI TUJUAN PROSES BELAJAR & MENGAJAR

Kita tentu sepakat, bahwa tujuan akhir dari proses belajar dan mengajar adalah terwujudnya perubahan tingkah laku. Seseorang dapat dikatakan telah berubah priakunya, bila ia dapat menyelaraskan dan mengkondisikan dirinya dengan peraturan-peraturan yang berlaku di dalam agama maupun pemerintahan negara yang sah sehingga menjadi hamba Alloh Ta’alaa yang baik, menjadi individu yang baik, menjadi anggota keluarga yang baik, menjadi anggota masyarakat yang baik, menjadi warga negara yang baik. Dengan demikian, ia akan diterima dengan baik dilingkungan keluarga, lingkungan tempat tugasnya, masyarakat yang digaulinya tentu dengan tanpa mengurangi nilai bobot dari kepahaman yang dimilikinya. Bisa dibilang ia sangat berpengaruh positif dimanapun ia berada. Sedang wujud dari perubahan intlektualitasnya dapat tercermin dalam sikap dari sebelumnya. Yang tadinya tidak tahu tentang perbedaan antara baik-buruk, pahala-dosa, mahrom dan bukan mahrom, surga-neraka, kini menjadi mengerti dan paham terhadap hal-hal tersebut sehingga dapat dilihat dari prilakunya sehari-hari, yaitu melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dan meninggalkan apa yang seharusnya ia tinggalkan, dan lain sebagainya.

Kwalitas dua wujud antara tingkah laku dan intlektualitas ini akan menjadi Barometer terhadap berhasil tidaknya muballigh mengajar dan jama’ah belajar ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Nah, disinilah seorang muballigh dihadapkan pada problema mengajarkan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa sampai sa’at ini masih saja diberitakan oleh para pengatur dan jama’ah tertentu, bahwa muballigh belum dapat bersikap professional terhadap kemuballighan. Sehingga dampak dari hasil mengajar belum dapat memenuhi target yang diharapkan bahkan ada kecenderungan begitu-begitu saja, kalau boleh saya katakana, “berjalan di tempat, tidak ada perubahan yang signifikan yang dapat dilihat”, bahkan boleh jadi malah merosot. Ini bisa dilihat dari perubahan kepahaman jama’ah terhadap ta’dhzim, sambung jama’ah, berpakaian, kerukunan, kekompakan dan lain sebagainya yang sangat menurun drastis. Padahal nasehat masalah bahwa maju-mundurnya perkembangan Al-Qur’an dan Al-Hadits tergantung pada bagaimana cara muballigh menanamkan kepahaman kepada mereka selalu digembar-gemborkan. Akan tetapi kenyataan yang seperti itu bukanlah kesalahan seorang muballigh semata, melainkan berbagai faktor yang terlibat di dalamnya.

Namun alangkah bijaksananya, bila kita semua bersama-sama mencoba mencari tahu siapa sesungguhnya sumber dari segala sumber petaka ini. Sebenarnya muballigh tidak dapat bersikap professional terhadap kemuballighannya itu karena didominasi oleh kekurangtahuan dan kekurang pahaman seorang muballigh di dalam menjabarkan strategi-strategi dan komponen-komponen pokok pengajaran, dan kurang melekatnya rasa kebanggaan dan kecintaan seorang muballigh terhadap amal sholihnya sebagai muballigh pengajar ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hal inipun disebabkan oleh berbagai factor. Namun, factor semakin merosotnya penghargaan atau penghormatan para jama’ah yang diajar terhadap muballighnya yang mengajar sangat menentukan. Cobalah, hal ini diperhatikan.

Tapi kadangkala, saya sebagai salah satu dari sekian banyak muballigh tidak habis-habisnya berpikir, bahwa merosotnya rasa ta’dhzim para jama’ah kepada muballigh juga sangat beralasan. Karena, disinyalir ada semacam alih prinsip di kalangan muballigh, yaitu muballigh yang semula mengajarkan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia, tugas suci, suatu amal sholih, suatu pengabdian. Sekarang berubah menjadi tugas adalah sarana untuk mencari kesenangan, pengalaman, dan jodoh atau untuk memudahkan mencari suatu pekerjaan duniawi, atau bahkan tugas menyampaikan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah menjadi suatu beban tugas yang menyebalkan. Dan jika hal ini terjadi pada muballigh juga wajar, karena muballigh itu adalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kebutuhan hidup, butuh bernafas, butuh makan, minum, berpakaian, istirahat, bersenang-senang. Mengingat jiwanya yang masih muda, barangkali saja kurang mendalami akan arti hidup yang sebenarnya sehingga kurang bisa mengontrol emosi, tidak memiliki kedewasaan emosional, dan masih suka mendahulukan hawa nafsu ketimbang mendahulukan akal dan pikiran. Padahal kita dijadikan oleh Alloh Ta’alaa sebagai manusia dengan penciptaan yang sangat sempurna untuk beribadah kepada Alloh Ta’alaa, sebagai abdi Alloh Ta’alaa, Bukan sekedar hidup untuk berhura-hura mengumbar kesenangan nafsu belaka.

Jika tugas hanya didasari ingin mencari kesenangan, saya pikir yang tepat adalah pulang ke rumah sendiri saja. Kemungkinan di rumah akan mendapatkan peluang yang diinginkan. Ngapain tugas, kalau tidak memiliki daya juang yang tinggi, yang bisa diandalkan untuk menyiarkan perjuangan dan pengembangan Al-Qur’an dan Al-Hadits hingga sampai ke tengah-tengah masyarakat luas. Untuk apa tugas jika yang diandalkan hanya daya uangnya saja, artinya kalau cukup uang mau berjuang dan jika tidak diberi uang tidak mau berjuang.

Tugas amal sholih mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits di tempat tugasan itu sangat penuh liku-liku dan panorama yang tidak menyenangkan, tapi banyak juga yang menyenangkan. Tentulah dalam suatu perjuangan ada suka dan dukanya dan membutuhkan suatu pengorbanan. Ingat, tidak ada ceritanya orang yang berhasil duduk di atas kursi singgasana hanya ditempuh dengan cara duduk di atas kursi malas sambil ungkang-ungkang kaki. Tapi, melalui proses yang tidak singkat dan melalui tempaan yang tidak bisa dibilang ringan, digembleng sehingga memperoleh kwalitas yang diharapkan. Seperti dalam cerita pewayangan “Gatot Kaca” digodok terlebih dahulu di kawah Condrodimuko, setelah itupun masih banyak lagi rintangan yang ia hadapi untuk mendapatkan sukses menduduki tahta kerajaan Pringgodani.

Yakini bahwa hidup di dunia ini penuh badai gelombang penghalang cita-cita, tapi hidup adalah perjuangan. Dan perjuangan yang paling pol hasilnya adalah perjuangan muballigh untuk melancarkan dan mengembangkan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits hingga dapat berkembang, berbuah, jaya, wibawa, guna, mulia, barokah ilaa yaumil qiyaamah. Nah, karena perjuangan tersebut hasilnya pol maka rintangannya juga berat; diolok-olok, digegeri, dimusuhi, dirintangi bahkan boleh jadi malah ada yang sampai dibunuh segala. Bahkan kalau kita rasa-rasa memang cukup panas hidup dalam dunia muballigh. Namun demikian kita harus yakin seyakin-yakinnya, bahwa ibarat matahari yang sangat panas, terik pasti akan redup. Begitu juga badai ombak yang ganas pasti akan reda. Semua itu ada waktunya. Apalagi Alloh Ta’alaa adalah kekasih kita yang senantiasa menjanjikan kemenangan, dengan catatan kita tetap berdo’a, usaha, iman dan bertawakkal kepada Alloh Ta’alaa, menjauhi dosa-dosa, pasti apa yang menjadi harapan dan cita-cita kita lambat atau cepat akan terwujud nyata. Kalau boleh saya berpendapat, maka sesuatu yang kelihatan tak mungkin bagi orang lain selain muballigh, bisa menjadi mungkin bagi muballigh yang faqih dan paham. Karena, Alloh Ta’alaa dan malaikat selalu menyertainya. Terbukti, muballigh yang tadinya tidak punya istri, dinikahkan oleh pengurus dan jama’ahnya hingga punya istri, dihajikan, diberi kendaraan, diberi rumah, yang belum, yaitu yang tadinya tidak punya pembantu tetap saja tidak punya pembantu, mungkin ini sebagai pancingan biar muballigh berpoligami saja biar istri yang tua dan yang muda bisa saling bekerja sama yang baik.

Seringkali hal ini menjadi semacam lingkaran setan. Betapa tidak, antara muballigh, para pengurus dan jama’ah saling melempar kesalahan. Dan yang paling memprihatinkan bila hal ini berlanjut pada pembentukan sikap dan rasa individualistis di kalangan muballigh dan para pengurus serta para jama’ah. Sebagai korban dari sikap ini adalah calon generasi penerus. Padahal merekalah kelak yang bakal menjadi penerus perjuangan kita ini.

Keberhasilan seorang muballigh dalam mengajar sangat ditentukan oleh adanya kesiapan dan kemampuan yang dimiliki oleh muballigh itu sendiri. Kesiapan yang saya maksudkan di sini ialah kesiapan mental, kesiapan intlektual dan kedewasaan emosional pada sa’at menghadapi berbagai macam kemungkinan yang terjadi selama proses belajar mengajar ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits berlangsung. Muballigh yang sudah memiliki tiga kesiapan di atas, tentu ia akan selalu berada dalam kondisi yang selalu siap mengajar. Kondisi seperti ini akan sangat membantu para jama’ah yang belajar dengannya penuh konsentrasi. Kondisi seperti ini pula yang akan menggiring para jama’ah kearah keberhasilan mengajar yang telah ditetapkan, yaitu membina dan meramut para jama’ah terhadap kepahaman ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan sebaliknya, apabila muballigh tidak memiliki tiga kesiapan tersebut, maka hal-hal yang tidak diinginkan pada sa’at proses belajar dan mengajar sedang berlangsung akan terjadi dan akan turut mewarnai dengan warna yang tidak sedap dipandang mata, dan tidak enak didengar telinga. Contoh ketika muballigh sedang memberikan pelajaran, menerangkan sementara para jama’ah yang menerimanya tanpak kelihatan gelisah, bahkan malah ditinggal ngobrol atau ngantuk. Kondisi seperti inilah yang sangat merugikan anatara satu dengan yang lain, baik bagi para jama’ah maupun muballighnya. Sudah hilang waktu dan energi, pulang kerumah tanpa membawa hasil kepahaman ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lah, bagaimana mungkin para pengurus dan jama’ahnya akan akan memberikan perhatian lebih ke dalam bentuk kesejahteraan atau yang lainnya.

Seorang muballigh yang betul-betul kepingin berhasil dalam mencapai tujuan pengajarannya, maka sebelum mengajar terlebih dahulu membuat struktur perencanaan materi yang akan disampaikan yang disesuaikan dengan jadwal pengajian yang berlaku, baik dari materi Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun pada kenyataannya sekarang ini tidak sedikit muballigh yang mengajar tanpa ada persiapan yang matang, dampaknya ia sendiri tidak memahami cara menjabarkan isi Al-Qur’an atau isi Al-Hadits yang ia ajarkan kepada jama’ahnya. Kebanyakan muballigh mengajar hanya berpatokan pada keterangan yang ditulisnya dari hasil ia menulis apa yang telah didiktekan oleh guru di pondoknya, sehingga pada sa’at ia membaca apa yang ditulisnya itu sementara ditinggal ngobrol oleh jama’ahnya, karena tidak terjadi komunikasi yang baik. Seolah-olah jama’ah dibawa untuk mendengarkan sebuah siaran berita langsung yang terkesan boleh didengarkan, boleh juga tidak didengarkan, akhirnya dampaknya adalah target yang harus dicapai akan terlewati begitu saja. Begitupun masih mending, bukan saja berakibat terhadap mentahnya hasil jama’ah belajar dan muballigh mengajar, juga cenderung monoton.

Kemampuan memahami dan menjabarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits memang kelihatannya suatu pekerjaan yang spele. Tidak jarang membuat kecemburuan social bagi para jama’ah yang tidak paham, terutama pada sa’at muballigh mendapatkan ukhro dari pengurus di atas gaji yang mereka terima dari tempat kerjanya, pada sa’at muballigh bisa berangkat haji ke tanah suci, pada sa’at muballigh mendapatkan bantuan rumah tinggal dan kendaraan dari sabilillah sebagai tanda syukur dan rasa ta’dhzimnya kepada muballigh. Sehingga tak urung jama’ah yang tidak paham tersebut berkomentar spontan, “enak banget muballigh, cuma mengajar begitu saja diberi gaji pokok, rumah, kendaraan, dihajikan, pingin kawin dibiayai, anaknya disekolahkan, coba kurang apa muballigh!” Padahal pada kenyataannya tidak semua muballigh bisa melakukannya dengan baik. Dan kemampuan tersebut tidak akan langsung dapat dikuasai melainkan hanya dengan membiasakan diri menggunakan, menderes dan menyampaikan lagi apa yang telah ia terima dari guru pondoknya itu kepada jama’ah yang membutuhkannya. Dengan cara demikian maka kemampuan yang diharapkan akan dapat terpenuhi.Sebagai contoh, bagaimana muballigh dapat menjabarkan tentang pemilihan bahan atau materi pengajaran ketika ia sendiri tidak paham terhadap apa yang akan ia ajarkan di tempat-tempat tertentu dalam suasana dan kondisi jama’ah yang berbeda.

Seorang muballigh yang kurang fleksibel, barangkali ia akan menyamaratakan pemberian bahan pelajaran, meskipun sebenarnya ia mengetahui kalau jama’ahnya tidak cocok bila diberi pelajaran tertentu yang dianggap cocok oleh jama’ah yang lain, karena perbedaan strata ekonomi dan strata sosial. Tindakan muballigh semacam ini sangat merugikan jama’ahnya. Karena, jama’ah yang diperlakukan seperti itu tak ubahnya seperti tanah liat yang dicetak dengan cetakan batu bata, maka hasilnya akan menjadi batu bata yang berukuran sama. Seribu batu bata akan terlihat bentuk dan ukurannya yang sama. Ini namanya jama’ah batu bata, yang terkesan kaku, keras, saklek, dan tidak toleransi terhadap perbedaan yang bersifat furu’ bukan suatu prinsip. Sehingga dengan menetapi Al-Qur’an dan Al-Hadits malah seolah-olah mendapatkan beban berat.

Padahal Al-Qur’an dan Al-Hadits itu diturunkan Alloh Ta’alaa sebagai solusi hidup, bukan beban hidup. Karena, Al-Qur’an dan Al-Hadits itu sendiri bersifat fleksibel, artinya baik intonasi bacaan ataupun cara membacanya serta redaksi keterangannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan, tentu saja dengan tidak menyimpang dari dasar atau tujuan pokoknya. Mengenai pemilihan bahan pengajaran dapat dilihat oleh muballigh dalam daftar silabel atau pokok-pokok bahasan. Misal, Bab Perkawinan, surat apa dan ayat berapa.

Tugas muballigh dalam hal ini adalah sebelum mengajar harus membuat, mencari dan menyediakan bahan pelajaran sendiri, di samping itu juga menggunakan bahan pelajaran yang telah ditentukan oleh jadwal yang dibuat oleh orang lain di tempat-tempat mengajar. Nah, di sinilah kemampuan intlektual muballigh diperlukan. Muballigh yang kreatif akan selalu dan terus menerus membuat, merencanakan dan mencari bahan yang akan diajarkan kepada jama’ah yang betul-betul sesuai dengan keadaan jama’ah dan kebutuhannya. Utamanya adalah pada sa’at sedang melayani jama’ahnya secara private.

Membuat, mencari dan merencanakan bahan pengajaran yang dilakukan oleh sendiri, maka berhasilnya proses belajar mengajar akan semakin mudah dicapai, sebab mengajarkan bahan pelajaran yang dibuat sendiri jauh lebih dikuasai daripada mengajarkan bahan pelajaran yang dibuat oleh orang lain yang belum dikuasai. Pada kenyataannya tidak semua muballigh dapat membuat dan menyusun bahan pelajaran yang baik. Sudah barang tentu hal ini akan menjadi masalah bagi muballigh yang tidak biasa dan tidak bisa membuatnya. Akan tetapi ketidakbisaan atau ketidak-biasaan itu bukan berarti lepas dari permasalahan. Karena, bagaimanapun muballigh tetap dapat tampil luwes mengajarkan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits dibanding dengan jama’ah biasa. Dan sudah bisa dibayangkan, bagaimana bila seorang muballigh berada dalam waktu mengajar tiba-tiba kehilangan rasa percaya diri, maka muballigh yang kurang percaya diri atau kurang siap, sebagai dampaknya adalah bukan saja menjadi beban dirinya, juga akan menjadi beban bagi jama’ahnya.

Dalam memilih dan membuat bahan pelajaran yang akan diajarkan sesungguhnya tidak perlu muluk-muluk, tapi yang penting adalah bahan pengajaran yang akan diajarkan itu bermanfa’at dan sesuai dengan kebutuhan jama’ah. Dan yang perlu diperhatikan lagi adalah bagaimana bahan pelajaran yang akan diajarkan tersebut dapat disajikan dalam bentuk susunan yang benar-benar oprasional, dan sistematik sehingga mampu menunjukkan dan mengacu pada perubahan tingkah-laku. Pendek kata, jama’ahnya menjadi cepat paham. Yang semula jama’ahnya tidak bisa membaca Al-Qur’an, tidak bisa sholat, tidak paham berubah total menjadi rajin membaca Al-Qur’an, rajin sholat, dan memiliki kepahaman yang kuat hingga tidak gampang terpengaruh oleh perkembangan zaman.

Jika semua itu sudah bisa dikuasai, maka untuk selanjutnya adalah muballigh sebagai pengajar perlu mempunyai metode. Karena, metode adalah merupakan suatu alat dan cara bagi muballigh yang benar-benar menyadari tujuan mengajarkan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebab, dengan menggunakan metode yang tepat guna, maka tujuan tersebut akan mudah dicapai dengan baik. Oleh karena itulah, seakan-akan metode sangat berperan dalam komponen pokok pengajaran. Bapak Imam KH. Nurhasan Al-Ubaidah berhasil mendakwahkan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits di bumi Indonesia ini sebab beliau dalam mengajarkan ilmu Al-Qur’an dan Al-Haditsnya dengan multi metode. Jadi, jika ada orang jama’ah atau pengurus yang mengatakan bahwa dalam menyampaikan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits hingga menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini, beliau tidak memakai metode apapun. Maka, pernyataan seperti itu adalah bohong, atau saking tidak tahunya jama’ah serta pengurus tersebut tentang metode itu apa. Sehingga sebagai dampaknya adalah bahwa sekarang ini ada kecenderungan terjadi salah menerangkan antara pengertian metode, pendekatan dan tehnik. Memang pada kenyataannya kadang-kadang sama dan kadang-kadang berbeda.

Sebenarnya untuk masalah metode, apapun namanya kegiatan pastilah membutuhkan metode, baik itu yang berupa orang, tempat, ruangan, alat, benda atau materi. Sedangkan pendekatan adalah cara memulai sesuatu, yang dimaksud disini adalah cara memulai pelajaran dan pengajaran ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada para jama’ah. Adapun tehnik adalah daya upaya, usaha-usaha yang dipakai oleh muballigh dalam mencapai target tujuan belajar mengajar selama dalam melaksanakan tugasnya.

Apabila sistim pendekatan dan metode merupakan cara penyampaian materi pelajaran secara tioritis saja, maka tehnik adalah alat yang langsung digunakan oleh muballigh untuk mencapai tujuan dalam suatu pengajian. Maka, dapat kita simpulkan bahwa tiga buah istilah itu ternyata memang berbeda, tapi antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dilepas dan dipisahkan. Antara metode, pendekatan, dan tehnik saling melengkapi.

Untuk menjadi anak jama’ah dan orang tua maupun muballigh yang bangga dan mencintai menjadi muballigh, maka harus mengerti dan memahami arti mengajar. Jika saja mereka benar-benar mengerti dan paham arti yang benar “mengajar” maka mereka akan merasakan betapa indahnya dunia muballigh itu, sangat menyenangkan, bahkan bisa membuat awet muda tanpa harus minum jamu pahitan yang membosankan itu.

Mengajar adalah seni. Oleh karena itu muballigh diharapkan bisa menjadi seniman. Karena mengajar adalah seni, maka seorang muballigh harus dapat menguasai cara-cara mengajar dengan baik dan benar agar apa yang diajarkannya dapat diterima, dimengerti, diresapi, dipahami oleh jama’ah yang menerima ajarannya hingga mereka bisa dan ridho mengamalkan apa yang telah diajarkannya. Untuk itu yang patut mendapatkan perhatian lebih dari muballigh adalah dalam menggunakan metode. Metode yang digunakan hendaknya metode yang dapat menjurus pada pengajaran yang berdasarkan keterampilan proses. Sebab, bila menggunakan metode yang hanya berupa memberikan isi ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada jama’ahnya seperti yang sering dipakai oleh kebanyakan muballigh, maka pola pendidikan jama’ah yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang disampaikan oleh muballigh akan tetap dari ayat dan hadits yang itu kembali lagi ke ayat dan hadits itu saja, cenderung statis, tidak ada peningkatan keilmuan. Misal, karena ada salah satu jama’ah yang melanggar, lantas pengurus dan muballigh bersepakat materi pengajiannya adalah Kitabul Adab atau Kitabul Ahkam, padahal jama’ah yang lain sudah khatam. Wal hasil jama’ahnya tidak pernah mengenyam nikmatnya mengaji Kutubu Sittah, seperti Hadits Bukhori, Muslim dll. Atau muballigh hanya memberikan pemangkulan secara tiori saja tanpa dibarengi dengan adanya latihan dan praktek.

Oleh karena itu sikap professional muballigh terhadap kemuballighannya sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits di masa yang akan datang. Insya Alloh, suatu sa’at nanti, baik lambat atau cepat pemerintah NKRI akan membutuhkan pendakwah dari da’i-da’i muda Lembaga Dakwah Islam Indonesia. Nah, untuk persiapan kearah sana, maka jauh sebelumnya kita sebagai muballigh atau generasi penerus yang kini sudah semakin terdesak oleh arus globalisasi hendaknya mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan dakwah, agar hasilnya nanti bisa seindah dan sebesar nama organisasi yang menaugi, yaitu Lembaga Dakwah Islam Indonesia. Sekali lagi bahwa perlu sekali muballigh memiliki kemampuan untuk memahami dan menjabarkan dari beberapa komponen pokok pengajaran ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
[S.Baiturrahman]
Share on :
TIGA KOMPONEN POKOK SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MENCAPAI TUJUAN PROSES BELAJAR & MENGAJAR
TIGA KOMPONEN POKOK SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MENCAPAI TUJUAN PROSES BELAJAR & MENGAJAR
Reviewed by Unknown
Published :
Rating : 4.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar