Diberdayakan oleh Blogger.

"KEBAIKAN di AKHIR JAUH LEBIH PENTING DARIPADA di AWAL"

Untuk mendasari pembahasan tentang amal yang baik di akhir jauh lebih penting daripada di awal, maka sejenak Saudara akan saya bawa untuk fokus pada sebuah ungkapan dari sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam yang telah dibukukan dalam Hadits Shohih Bukhori, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada akhirnya”.

Mungkin kita masih ingat tentang kisah seorang laki-laki yang mendapati seekor anjing yang sedang kelaparan dan kehausan. Tanpa berpikir panjang ia membuka mujah/sepatunya, lalu turun ke sebuah sumber mata air dan mengisinya dengan air, kemudian memberikannya pada anjing tersebut. Lantas, anjing tersebut meminum air itu dengan perasaan gembira dan penuh suka cita. Alloh Ta’alaa tersenyum melihat perbuatan baiknya. Konon, dalam cerita ini orang laki-laki tadi dimasukkan ke dalam surga padahal semasa hidupnya ia tidak terkenal sebagai orang yang ahli beribadah. Bandingkan dengan kisah lain tentang seorang perempuan yang semasa hidupnya tekun beribadah. Namun ketika ada seekor kucing yang kelaparan masuk ke rumahnya, sama sekali ia tidak tergerak untuk memberinya makan. Alih-alih memberinya makan, malahan kucing tersebut ia masukkan ke dalam sebuah kurungan tanpa ada rasa iba atau peduli terhadap rasa lapar dan dahaga yang sedang dirasakan oleh kucing tadi, sehingga kucing tersebut begitu menderita dalam kurungan. Akhirnya, si kucing menjadi sekarat dan mati mengenaskan. Ternyata, dalam cerita ini, amal ibadahnya tidak bermanfa’at baginya. Karena, belumlah ia sempat bertaubat keburu mati lebih dahulu merenggut nyawanya. Dan Alloh Ta’alaa memasukkan orang perempuan tersebut ke dalam neraka. Jelek-jelek, kucing dan anjing itu merupakan karya cipta Alloh Ta’alaa, maka barangsiapa yang menghargainya pasti Alloh memberinya pahala. Dan bagi orang yang menganiayanya pasti Alloh Ta’alaa memberinya dosa. Hal ini, mengingatkan kita pada firman Alloh Ta’alaa dalam Al-Qur’an, Surat Al-An’am, No. Surat: 6, Ayat: 38, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab [di Lauhul Mahfudhz], kemudian kepada Tuhanlah mereka dikumpulkan”.

Saudaraku yang budiman, kedua cerita di atas memberikan sebuah ilustrasi kepada kita mengenai betapa pentingnya sebuah amalan yang baik di akhir hidup kita “husnul khotimah”. Bahkan, sesungguhnya akhir itu jauh lebih penting daripada awal. Bukankah nilai seseorang ditentukan dari akhirnya, dan bukan awalnya? Seorang yang baik di awal tapi buruk di akhirnya akan dinilai buruk, sebaliknya seorang yang buruk di awal tapi baik di akhir akan dinilai baik. Jadi, yang menentukan baik-buruknya bukanlah awal, melainkan akhir.

Sekarang, coba jawab dalam hati pertanyaan berikut ini: Mana yang lebih baik, mantan ustadz atau mantan penjahat? Bandingkan, antara dua orang artis berikut ini! Artis pertama dikenal sebagai seorang artis yang baik dan sopan; kelihatan sering tampil berbusana muslimah, tetapi kini ia justru sering berbusana minim dan tampil seronok serta sering beradegan panas dalam film roman. Sementara, artis kedua, dulu suka berbusana minim dan kelihatan seronok plus sering melakukan adegan panas dalam film-film orang dewasa. Namun sekarang, ia menutup aurotnya rapat-rapat dan tanpak anggun mengenakan busana muslimah. Ia meninggalkan semua prilaku buruknya dan menjadi wanita yang sholihah.

Nah, seandainya saja saya meminta kepada Anda untuk memilih yang mana di antara kedua artis ini yang berprilaku baik? Maka, bisa saya pastikan bahwa, Anda akan memilih artis yang kedua. Sebab, kriterianya sudah jelas, yaitu Anda akan melihat pada prilakunya yang sekarang. Lagi-lagi, bahwa akhir yang baik itu jauh lebih penting daripada yang awal.

Saudaraku yang baik hati, sesungguhnya apa yang sedang kita bahas ini adalah sebuah konsep pribadi muslim yang sholeh. Muslim yang sholeh adalah kemampuan mengelola amal baik yang akhir bukan awal. Mengapa? Karena, siapa pun bisa mengelola perbuatan baik di awal. Kita tidak perlu belajar untuk bisa melakukannya. Kita cukup menggunakan akal sehat dan melakukan apa yang perlu dilakukan secara alami. Tapi, untuk mengelola perbuatan baik di akhir, tentu ini betul-betul membutuhkan waktu luang dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya, bila tidak, maka kita akan mengalami kegagalan dalam meraih predikat “husnul khotimah”, artinya akhir yang baik.

Coba kita pikirkan contoh-contoh berikut ini! Berapa banyak orang yang ketika mulai bekerja di suatu tempat bekerjanya, ia memulainya dengan baik-baik? Pasti, dalam otak kita ada pikiran, bahwa hampir semua orang di dunia ini memulai sebuah pekerjaan di tempat bekerjanya yang baru dengan baik-baik. Ya, tentu doong. Sebab, siapa yang mau menerima kita bila kita tidak mengawali pekerjaan di tempat baru dengan baik-baik? Begitu pun hal yang lain. Sudah pasti persyaratan awalnya adalah harus baik, kalau tidak bisa baik maka dipastikan, out! Akan tetapi, coba kita perhatikan, berapa banyak orang yang mengakhiri kerjanya di suatu tempat bekerjanya juga dengan baik-baik? Tidak usah jauh-jauh, cukup kita melihat pengalaman kita sendiri atau melihat pengalaman orang-orang di sekitar kita. Sebagai pelajar, ada yang tidak lulus. Sebagai mahasiswa, ada yang di”DO”. Sebagai PNS, ada yang dipecat tanpa hormat. Sebagai Polisi, ada yang dinon aktifkan. Sebagai pegawai kantor pajak, ada yang dimasukkan ke dalam bui. Sebagai istri, ada yang dicerai. Sebagai Presiden, ada yang dilengserkan dari keprabon. Sebagai manusia, ada yang dimasukkan ke dalam neraka. Anda ingin tahu penyebabnya apa? Semua itu karena mereka tidak dapat mengakhirinya dengan baik.

Bagaimana dengan dua orang sejoli yang jatuh cinta kemudian memutuskan untuk segera menikah? Maka, sudah bisa kita kira-kira bahwa hampir setiap orang yang mau menikah mengawalinya dengan baik-baik. Tapi, apa yang terjadi ketika akan bercerai sebagai pertanda bahwa pernikahan mereka akan segera berakhir? Apakah mereka juga bercerai dengan baik-baik? Bukankah jauh lebih banyak pasangan suami-istri yang mengakhiri hubungan kasih mereka dengan saling berteriak, mencaci, memaki, sakit hati dan permusuhan, bahkan tidak jarang sampai terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga hingga tidak saling menyapa?

Bagaimana juga dengan kerja sama bisnis? Bukankah hampir semua orang mengawalinya dengan baik-baik? Dan bukankah banyak sekali orang yang mengakhiri kerja samanya dengan kemarahan, sakit hati dan permusuhan?

Mengapa kita senantiasa mengawali sebuah hubungan dengan manis, tapi mengakhirinya dengan pahit? Inilah penyebab utamanya. Ketika mengawali sebuah hubungan, posisi orang itu di mata kita sungguh penting. Sebab, kita beranggapan bahwa melalui orang itulah kita akan bisa mencapai apa yang kita inginkan. Oleh karena itu, kita pasti berupaya untuk bisa berbuat baik dengannya. Sementara ketika mengakhiri hubungan, atau kepentingan kita sudah berubah. Ini membuat posisi orang tersebut menjadi tidak penting lagi bagi kita. Itulah sebabnya, kita memperaktikkan pepatah lama “Habis manis sepah dibuang”.

Kalau demikian, sudah jelas bahwa kebaikan yang kita lakukan di awal itu sesungguhnya bukanlah kebaikan, melainkan sekedar sebuah kepentingan. Kebaikan itu senantiasa dilandasi keridhoan dan keikhlasan. Dan ketika kita membahas tentang keridhoan dan keikhlasan, maka kita akan selalu melakukan kebaikan di awal maupun di akhir. Namun tidak demikian dengan suatu “kebaikan” yang dasarnya adalah karena suatu kepentingan. Maka, kebaikan seperti ini bersifat semu. Kebaikan seperti itu akan segera luntur dan menghilang bersamaan dengan hilangnya kepentingan yang menjadi tujuan awalnya.

Orang yang mempunyai jiwa yang ridho dan ikhlas ada keindahan yang luar biasa di dalam dirinya. Dorongan kebaikannya berasal dari dalam hati. Sementara, orang yang baik karena didasari punya kepentingan, dorongannya adalah dari luar hati. Karena itu, kebaikan sesungguhnya belum menyatu dalam jiwanya. Kewajiban yang datangnya dari luar hanyalah merupakan topeng dari kepentingan, dan alat untuk mendapatkan keuntungan. Ini seperti rumus utama dalam dunia politik; tidak ada kawan sejati, tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan.

Orang yang memiliki jiwa ridho dan ikhlas mempunyai kebaikan sejati. Ia selalu berbuat baik di awal dan di akhir. Baginya, tidak ada istilah awal dan akhir, semua sama, yang ada adalah kebaikan yang abadi, yaitu kebaikan yang didasari niat karena Alloh Ta’alaa “mengharapkan rohmat Alloh Ta’alaa dan berharap terhindar dari adzab Alloh Ta’alaa”. Bahkan, di akhir ia akan lebih manis dan lebih indah, lebih baik daripada di awalnya, bisa dibilang “husnul khotimah”. Untuk meraih ini, kita harus mengkondisikan diri kita dalam “Tsubutul Islam, luzumul Jamaa’ah”. Artinya selalu dalam Islam dan berjama’ah.
[S.Baiturrahman]
Share on :
"KEBAIKAN di AKHIR JAUH LEBIH PENTING DARIPADA di AWAL"
"KEBAIKAN di AKHIR JAUH LEBIH PENTING DARIPADA di AWAL"
Reviewed by Unknown
Published :
Rating : 4.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar