Pada suatu hari laki-laki yang hidup sendiri itu berkata dalam hati, “Tidak adil jika butir-butir padinya dibagi rata. Aku hidup sendiri sedangkan saudaraku mempunyai banyak anak yang harus diberi makan”. Maka, setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi bagiannya dan meletakkan di lumbung saudaranya.
Ternyata pria yang menikah dan punya banyak anak juga memikirkan situasi saudaranya dan berkata dalam hati, “Tidak adil rasanya kalau kami membagi butir-butir padi dengan sama rata. Aku punya anak-anak yang akan mengurus diriku jika aku sudah tua. Bagaimana dengan dia?” Maka setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi dari lumbung padi miliknya, dan meletakkannya di dalam lumbung padi milik saudaranya.
Suatu malam mereka berdua saling berpapasan di jalan antara rumah mereka. Dan tiba-tiba mereka berdua menyadari apa yang selama ini terjadi. Mereka baru menyadari mengapa selama ini persediaan padi dalam lumbung mereka tidak pernah berkurang. Mereka pun berpelukan dengan penuh kasih sayang.
Wahai saudaraku, saudara jama’ah, sedulur lahir-batin, dunia-akhirat yang budiman, betapa indahnya dunia ini jika kita bisa saling menghayati apa yang dibutuhkan orang lain. Maka, dalam menjalani kehidupan di dunia ini niscaya akan terasa mudah. Sebagaimana firman Alloh Ta’alaa dalam Al-Qur’an, Surat Al-Lail, No. Surat: , Ayat: , yang berbunyi:
Artinya: “Adapun orang yang memberi dan bertakwa dan membenarkan pada yang terbaik (surga), maka Kami (Alloh) akan memudahkan baginya pada kemudahan”.
Hanya, yang patut kita waspadai adalah tidak selamanya kebaikan yang kita berikan kepada orang lain dinilai baik. Terkadang, apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut orang lain juga baik, malahan kadang oleh orang lain dinilai buruk, ada maunya, ada udang di balik batu. Terlebih jika kebaikan kita itu berkaitan dengan seorang wanita, tidak jarang dikait-kaitkan dengan masalah wayuh atau poligami. Bahkan, boleh jadi berlaku pribahasa lama, “Air susu dibalas dengan air tuba”. Nah, bukankah berbagai masalah yang kita hadapi dalam hidup ini sesungguhnya bersumber dari ketidakmampuan kita untuk saling berbagi, dan kita tidak mampu melihat segala sesuatu dari kacamata pandang orang lain?
Saling berbagi sesungguhnya merupakan rahasia kesuksesan yang terbesar. Orang yang mampu berbagi, ia mampu membaca pikiran orang lain. Ia akan selalu berusaha mendengar dari telinga orang lain dan melihat dari mata orang lain. Ini, tentu saja membuatnya mampu berkomunikasi dengan siapa saja. Bukan itu saja, saling berbagi juga merupakan rahasia kebahagiaan (happiness) yang terbesar. Kemampuan berbagi akan melahirkan rasa kasih sayang yang luar biasa. Dan bukankah kasih sayang sejatinya merupakan inti kebahagiaan? Pantaslah kalau Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda: “Tidak masuk surga sehingga beriman, dan tidak beriman sehingga saling menyayangi”. Memang, dengan berbagi bisa meringankan beban di hati. Tapi, jika salah memilih orang sebagai tempat untuk berbagi bisa menambah beban di hati. Oleh karena itu, pandai-pandailah dalam memilih orang sebagai tempat berbagi.
Kalaulah semua orang jama’ah, wabil khusus para muballigh mampu berbagi, tentu tidak akan ada lagi gegeran, kesedihan, kekecewaan, keburukan, dan hidup dalam keadaan aman, tentram, tidak takut lagi dimusuhi. Bahkan dunia juga akan bersih dari pembunuhan dan peperangan. Bagaimana mingkin seorang Josh W Bush (ketika menjadi Presiden Amerika Serikat) bisa memerangi orang lain, sehingga membuat mereka cacat dan kehilangan anggota keluarga yang mereka cintai, bila saja ia dapat membayangkan dirinya sendiri yang menjadi cacat atau kehilangan orang-orang yang paling ia cintai dalam rumahnya?
Tapi, sayang seribu sayang. Yang namanya saling berbagi ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan, atau tak semudah yang kita katakan. Ada lima alas an yang membuat saling berbagi itu sulit dilakukan. Pertama, karena pada dasarnya kita hanya mementingkan diri kita sendiri. Mementingkan diri sendiri memang sudah menjadi fitrah kita dan merupakan tahap perkembangan manusia yang palin awal. Tanpa mementingkan diri sendiri kita akan punah dari kehidupan. Namun berada pada fase ini membuat kita tidak berbeda dengan orang jahiliyah atau seorang anak kecil yang bila meminta sesuatu mengharuskan orang tuanya untuk memenuhi kebutuhannya sa’at itu juga. Seorang anak kecil belum mampu memahami bahwa orang tuanya sa’at ini sedang sangat sibuk. Berada dalam fase ini selamanya juga akan membuat kita tak ada bedanya dari hewan, ya hewan. Tahap pendewasaan seseorang sebenarnya ditandai dengan kemampuan saling berbagi dan merasakan apa yang sedang dialami oleh orang lain.
Kedua, karena yang paling menarik perhatian menurut kita adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Ini, mudah sekali untuk membuktikannya. Coba,kita ambil sebuah album foto yang memuat gambar kita dan teman-teman kita. Dari sudut pandang mana kita menilai bahwa foto itu bagus atau tidak? Siapa yang menjadi pusat perhatian kita? Sudah barang tentu gambar diri kita sendiri, bukan? Tidak peduli bagaimana amburadulnya gambar orang lain. Maka, sebuah foto akan kita nilai bagus kalau hasil pose kita dalam foto tersebut bagus.
Ketiga, kita sulit berbagi karena kita tidak pernah merasa mengalami seperti keadaan orang lain, dan berpikir tak pernah akan mengalami nasib seperti orang lain, “bila aku menjadi dia?” Bagaimana seorang imam bisa berijtihad arif, bijaksana serta merasakan keadaan yang dialami oleh rukyahnya yang punya anak banyak yang sering datang terlambat ke pengajian dan anak-anaknya yang sering mengganggu kenyamanan pada sa’at pengajian berlangsung, dan sering menganggu kekhusyu’an sholat berjama’ah – kalau setiap harinya seorang imam duduk nyaman di ruang tamu ber-AC, mengaji privat di rumah dengan muballigh pribadi, sholat di mushollah milik sendiri tanpa pernah merasakan kerepotan mengurusi anak? Bagaimana seorang pengurus dapat merasakan yang dialami rukyahnya yang bertempat tinggal jauh dari tempat pengajiannya – kalau setiap ada acara pengajian seorang pengurus tinggal melangkah ke tempat pengajian? Bagaimana seorang muballigh dapat merasakan yang dialami rukyah yang bacaan Al-Qur’annya masih tutak-tutuk, grutal-gratul – kalau muballighnya bacaannya sehebat bacaan sholatnya Sudais, imam sholat masjidil harom? Bagaimana kita yang setiap hari berangkat ke tempat pengajian dengan turun naik mobil bisa membayangkan menjadi rukyah yang dhu’afa’ setiap kali berangkat ke tempat pengajian dengan berjalan kaki? Bagaimana seorang aghniya’ yang setiap hari makan enak dan tidur nyenyak bisa membayangkan bagaimana menjadi orang miskin? Bagaimana seorang suami bisa memahami apa yang sedang dirasakan oleh istrinya pada sa’at mengandung dan melahirkan anak pertamanya? Bagaimana seorang anak bisa merasakan betapa susah-payahnya menjadi orang tua pada sa’at membesarkannya – kalau sejak dilahirkan ia dirawat oleh baby sitternya. Kita tidak akan pernah mengalami situasi yang demikian, karena itu kita tidak akan bisa berempati dan benar-benar merasakan apa yang dialami oleh orang lain.
Namun sejatinya saling berbagi tidak selalu berarti mengalami nasib yang sama dengan orang lain. Justru saling berbagi adalah kemampuan kita untuk “ikut merasakan” tanpa benar-benar harus mengalaminya sendiri. Ini bisa dicapai dengan latihan dan mengembangkan kedewasaan berpikir dan emosinal.
Keempat, kita sulit berbagi karena kita sedang dalam situasi krisis. Bayangkan, bila kita sedang sakit gigi, sementara di sisi kanan dan kiri kita ada orang lain yang sedang terkena bencana gempa bumi, tanah longsor, tsunami, kebakaran, kebanjiran, atau kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Dari sekian banyak masalah tersebut, manakah yang merupakan masalah terbesar di dunia ini? Sudah pasti rasa sakit gigi kita.
Kelima, kita sulit berbagi karena menganggap berbagi kepada selain golongan kita itu tidak berpahala, tidak penting. Pasalnya, kita tidak pernah benar-benar menyadari manfa’atnya bagi kesuksesan dan kebahagiaan kita.
Orang yang mampu berbagi dengan orang lain sejatinya adalah orang yang mampu menguasai emosi dari dirinya sendiri. Nah, bila kita sudah mampu mengendalikan emosi diri kita sendiri, maka segala sesuatu di dunia ini akan dapat kita pahami. Jika ini dapat kita pahami dengan benar maka tidak ada lagi kebencian dan permusuhan dalam hati.
Berbagi, tidak berarti selalu identik dengan uang. Bisa dengan berbagi cerita, berbagi ilmu pengetahuan agama maupun umum, berbagi pengalaman, berbagi suka-cita, berbagi perasaan “curhat”, berbagi makanan, dan masih banyak lagi pengertian berbagi hal lain. Sehingga benar-benar terwujud “mahabbah shodiqoh”, artinya cinta yang sebenar-benarnya. Ini bisa terwujud bila kita memahami mahabbah shodiqoh dari sudut pandang yang positif, yaitu Senangmu - senang aku, bahagiamu – bahagia aku, gembiramu – gembira aku, dukamu – duka aku, malumu – malu aku, sedihmu – sedih aku. Inilah yang namanya senasib-sepenanggungan, ringan sama dijinjing – berat sama dipikul. Dulu, pada zaman sahabat Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam awal hijroh ke Madinah. Di antara sesama orang iman, yang baru tiba dari Makkah disambut hangat oleh penduduk Madinah. Bagi penduduk Madinah yang mempunyai istri lebih dari satu, membagi kepada yang tidak punya istri. Begitu juga masalah harta kekayaan, mereka saling berbagi. Pada masa itu sangat terasa kental kerukunan dan kekompakan mereka. Beban yang berat terasa ringan. Sebesar apa pun masalah tidak ada yang tidak bisa diselesaikan, karena ada kebersamaan, dan mereka memahami betapa pentingnya saling berbagi. Sedangkan kita, kapan akan kita mulai saling berbagi? Sehingga kita bisa menjadi orang kecil berhati besar. Menjadi orang besar berjiwa besar. Tapi, berbagi di sini bukan dalam pengertian yang salah. Seperti istrimu – istriku, rumahmu – rumahku, anakmu – anakku, hartamu – hartaku, dan lain sebagainya, yang negatif-negatif.
[S.Baiturrahman]
"INDAHNYA SALING BERBAGI" (Berbagi dapat kurangi beban di hati)
Reviewed by Unknown
Published :
Rating : 4.5
Published :
Rating : 4.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar